Ibn Sina merupakan seorang failasuf, ilmuwan, dokter, dan
penulis aktif yang lahir di zaman keemasan peradaban Islam. Pada zaman
tersebut, ilmuwan-ilmuwan Muslim banyak menerjemahkan teks ilmu pengetahuan
dari Yunani, Persia, dan India. Ibn sina merupakan seorang faylasuf yang telah
berhasil membangun sistem falsafah yang lengkap dan terperinci, suatu sistem
yang mendominasi tradisi falsafah Muslim beberapa abad setelahnya.
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki
sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang
menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode-metode dan
alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni
dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam
sistem keagamaan Islam. Ia adalah seorang faylasuf yang mencatat dan
menggambarkan anatomi tubuh manusia secara lengkap untuk pertama kalinya dan
juga mengenai jiwa. Jiwa bagi Ibn Sina merupakan wujud rohani (imateri) yang
berada dalam tubuh. Badan bisa berubah-ubah secara fisik, akan tetapi jiwa ada
sebelum badan itu ada dan berubah. Pada makalah ini akan dijelaskan pemikiran
Ibn Sina mengenai Jiwa.
Konsep Jiwa
Menurut Ibn Sina, tujuan falsafah adalah untuk menetapkan
realitas segala sesuatu, sepanjang hal itu mungkin bagi manusia. Ada dua tipe
falsafah, yaitu teoritis dan prkatis. Yang pertama mencari pengetahuan tentang
kebenaran, sedangkan yang kedua pengetahuan tentang kebaikan. Tujuan falsafah teoritis
adalah menyempurnakan jiwa melalui pengetahuan semata-mata.
Tujuan falsafah
praktis adalah menyempurnakan jiwa melalui pengetahuan tentang apa yang
seharusnya dilakukan sehingga jiwa bertindak sesuai dengan pengetahuan
tersebut. Falsafah teoritis adalah pengetahuan tantang hal-hal yang ada bukan
karena pilihan dan tindakan kita, sedangkan falsafah praktis adalah pengetahuan
tentang hal-hal yang ada berdasarkan pilihan dan tindakan kita.
Menurut Ibn Sina, munculnya jiwa (vital principle)
sebagai “daya adijasmani” berawal dari
persenyawaan elemen-elemen primer kehidupan di bawah pengaruh benda-benda
langit. Yang pertama kali muncul adalah jiwa nabati, diikuti oleh jiwa hewani,
dan diakhiri oleh jiwa manusiawi. Jiwa nabati didefinisikannya sebagai dasar
pertumbuhan dan reproduksi; jiwa hewani sebagai dasar gerak (kehendak) dan
penangkapan terhadap rangsangan-rangsangan partikular; dan jiwa manusiawi
sebagai dasar pertimbangan dan pemahaman terhadap hal-hal yang universal.
Ibn Sina memberikan definisi umum tentang jiwa
menggunakan kata-kata Aristoteles sebagai “kesempurnaan pertama dari benda
organik yang alami”. Sebagai daya serap terhadap hal-hal yang partikular dan
bergerak sesuai dengan kehendak disebut jiwa hewani; sebagai daya untuk
menserap hal-hal universal dan bertindak atas dasar pertimbangan dan pilihan
disebut jiwa manusiawi; dan sebagai daya untuk tumbuh berkembang, dan
mereproduksi sejenisnya disebut jiwa nabati.
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibn Sina ialah
falsafahnya tentang jiwa. Di dalam masalah kejiwaan, ia termasuk penganut faham
dualisme (sanawiyah). Baginya, substansi jiwa itu berlainan sama sekali dari
materi tubuh, meskipun ia berasal dari pokok yang sama yakni Akal Aktif, tetapi
ia mempunyai perbedaan-perbedaan yang prinsipil.
Ada tiga dalil pembuktian yang dikemukakan oleh Ibn Sina
tentang substansi jiwa tersebut. Pertama, saat manusia merenungkan dirinya,
pada waktu itu secara sadar ia mengenal bahwa dirinya “ada” selama hidupnya.
Kedua, bila seseorang menghadapi suatu persoalan secara serius, ia akan
menumpahkan segenap perhatiannya pada persoalan tersebut. Pada waktu itu, ia
merasa dirinya bebas dari raga sehingga ia berani berkata saya akan berbuat
begini begitu tanpa merasa terikat dengan raga. Ketiga, manusia mampu menghimpun
secara sadar akan aktivitas-aktivitas fisik organisme yang dilakukannnya tanpa
kesulitan. Pengenalan terhadap aktivitas-aktivitas fisik menjadi bukti bahwa
niwa berbeda dari fisik.
Untuk membuktikan adanya jiwa, Ibn Sina mengajukan
beberapa argumen, yakni:
Argumen psikofisik
:
Ibn Sina mengatakan bahwa gerak dapat dibedakan kepada
gerak terpaksa, yaitu gerak yang didorong oleh unsur luar, dan gerak tidak
terpaksa. Gerakan tidak terpaksa ada yang terjadi sesuai dengan hukum alam,
seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
Argumen “aku” dan kesatuan fenomena psikologis
Argumen ini oleh Ibn Sina didasarkan pada hakikat
manusia. Jika seseorang membicarakan pribadinya atau mengajak orang lain
berbicara, yang dimaksud hakikatnya adalah jiwanya bukan jisimnya. Contoh,
ketika seseorang berkata “saya akan keluar” atau “saya akan tidur” maka ketika
itu yang dimaksud bukanlah gerak kaki atau memejamkan mata, tetapi hakikatnya
adalah jiwa.
Argumen kontinuitas
Dalil ini didasarkan pada perbandingan jiwa dan jasad.
Jasad manusia senantiasa mengalami perubahan dan pergantian. Kulit yang kita
pakai sekarang ini tidak sama dengan kulit sepuluh tahun yang lewat karena
telah mengalami perubahan, seperti mengerut dan berkurang. Demikian pula halnya
dengan bagian jasad yang lain, selalu mengalami perubahan. Sementara itu, jiwa
bersifat tetap, tidak mengalami perubahan dan pergantian. Jiwa yang kita pakai
sekarang adalah jiwa sejak lahir juga dan akan berlangsung selama umur tanpa
mengalami perubahan. Oleh karena itu, jiwa berbeda dengan jasad.
4) Argumen
manusia terbang di udara
Yaitu misalkan ada seseorang tercipta sekali jadi dan
mempunyai wujud yang sempurna. Kemudian diletakkan di udara dengan mata
tertutup. Ia tidak melihat apapun. Anggota jasadnya dipisah-pisahkan sehingga
ia tidak merasakan apa-apa. Dalam kondisi demikian, ia tetap yakin bahwa
dirinya ada. Di saat itu ia menghayalkan adanya tangan, kaki, dan organ jasad
lainnya, tetapi organ jasad tersebut ia khayalkan bukan dari bagian dirinya.
Dengan demikian, berarti penetapan tentang wujud dirinya bukan hal dari indera
dan jasmaninya, melainkan dari sumber lain yang berbeda dengan jasad, yakni
jiwa.
Hubungan Jiwa dan Raga
Ibn Sina berpendapat bahwa jiwa adalah wujud rohani
(imateri) yang berada dalam tubuh. Wujud imateri yang tidak berada dalam atau
tidak langsung mengendalikan tubuh disebut akal. Akan tetapi, apabila
mengendalikan secara langsung disebut jiwa. Badan bisa berubah-ubah secara
fisik, tetapi jiwa ada sebelum badan itu ada dan berubah.[8]
Sebagaimana Aristoteles, Ibn Sina menekankan eratnya
hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles
menoalak suatu pandangan dua substansi, yang oleh Ibn Sina diyakininya sebagai
bentuk dari dualisme radikal. Sejauh mana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian
merupakan suau pertanyaan yang berbeda: Ibn Sina tentu tidak menggunakan
dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan
tentang hubungan jiwa-raga. Menurut Ibn Sina, hal ini adalah cara pembuktian
yang lebih langsung tentang substansialitas nonbadan, jiwa, yang berlaku bukan
sebagai argumen, tetapi sebagai pembuka mata.
Alasan itu dikemukakan oleh Ibn Sina di dalam Asy-Syifa
bahwa manusia diciptakan dalam keadaan dewasa Tetapi dalam kondisi semacam itu,
ia dilahirkan dalam keadaan lemah sebab tubuhnya tak dapat menyentuh apa-apa
dan ia tidak dapat memahami apa-apa tentang dunia lahiriah ini. Kita perhatikan
pula bahwa ia tidak dapat melihat tubuhnya sendiri, dan bahwa anggota-anggota
badannya tercegah dari kesaling-sentuhan, sehingga ia tidak memiliki persepsi
rasa apa pun.
Orang semacam itu tidak akan mengetahui dunia ini, bahkan
keberadaan dirinya sebagai wujud spritual yang murni. Apa yang diketahuinya
tentu tidak sama dengan apa yang tidak diketahuinya. Oleh karena itu, jiwa
merupakan suatu substansi yang bebas dari tubuhnya. Di sini Ibn Sina
menjelaskan bahwa suatu hal yang imajinatif tidak mungkin direalisasi, tetapi
pokok sesungguhnya, seperti Descartes adalah bahwa kita dapat memikirkan tubuh
kita dan meragukan kemaujudannya, tetapi kita tidak dapat memikirkan jiwa kita.
Jiwa dalam keberadaan hakikinya dengan demikian merupakan
suatu substansi yang independen dan adalah diri kita yang transendental.
Argumentasi-argumentasi Ibn Sina tentang keabadian jiwa didasarkan atas
pandangan bahwa jiwa merupakan suatu substansi dan bukan suatu bentuk tubuh,
yang kepada bentuk itu, jiwa dikaitkan erat-erat oleh suatu hubungan mistik
tertentu keduanya. Di dalam jiwa yang muncul dari substansi terpisah intelegensi
aktif bersama dengan munculnya suatu tubuh dengan tempramen tertentu terdapat
suatu kecenderungan tertentu untuk mengaitkan dirinya dengan tubuh, merawatnya,
dan mengarahkan sedemikian rupa sehingga saling menguntungkan. Selanjutnya jiwa
sebagai nonbadani, merupakan suatu substansi yang sederhana. Substansi ini
menjamin kesinambungan hidupnya bahkan bila tubuh itu sendiri telah rusak.
Namun, jika pada taraf transendental, jiwa itu merupakan
suatu wujud rohaniah murni dan tubuh belum ada, bahkan sebagai suatu konsep
relasional sekalipun, pada taraf fenomenal, tubuh mesti sudah dapat ditentukan
wujudnya sebagaimana sebuah bangunan ditentukan wujudnya oleh seorang pembangun
gedung. Itulah sebabnya, Ibn Sina berkata bahwa studi tentang aspek fenomenal
jiwa termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan alam, sedangkan wujud
transendentalnya termasuk dalam studi metafisika.[9]
Oleh karena itu, Ibn Sina menolak sepenuhnya gagasan
tentang identitas yang mungkin dari dua jiwa atau dari ego yang terlabur dengan
ego Ilahi, dan ia menekankan bahwa kesinambungan hidupnya mestilah bersifat
individual. Merupakan suatu fakta utama pengalam bahwa setiap individu
menyadari identitas dirinya yang tidak dapat digoyahkan oleh argumentasi apa
pun.
Dengan demikian, hubungan antara jiwa dan tubuh sangat
erat sehingga hal ini bisa pula memengaruhi akal. Sudah tentu, semua perbuatan
dan keadaan psikofisik lainnya memiliki kedua aspek tersebut, yaitu mental dan
fisik. Misalnya pengaruh pikiran terhadap tubuh, yaitu pengaruh emosi dan
kemauan. Ibn Sina mengatakan, “Berdasarkan pengalaman medisnya bahwa sebenarnya
secara fisik orang-orang yang sakit, hanya dengan kekuatan kemauannyalah, dapat
menjadi sembuh dan begitu pula orang-orang sehat dapat menjadi benar-benar
sakit, bila terpengaruh oleh pikirannya bahwa ia sakit. Sebenarnya kalau jiwa
cukup kuat, jiwa dapat menyembuhkan dan menyehatkan badan lain tanpa sarana apa
pun”.
Ibn Sina memahami tujuan falsafah adalah penetapan
realitas segala sesuatu, sepanjang hal itu mungkin bagi manusia. Ada dua tipe
falsafah, yaitu teoritis dan prkatis. Yang pertama mencari pengetahuan tentang
kebenaran, sedangkan yang kedua pengetahuan tentang kebaikan. Tujuan falsafah
teoritis adalah menyempurnakan jiwa melalui pengetahuan semata-mata. Tujuan
falsafah praktis adalah menyempurnakan jiwa melalui pengetahuan tentang apa
yang seharusnya dilakukan sehingga jiwa bertindak sesuai dengan pengetahuan
tersebut. falsafah teoritis adalah pengetahuan tantang hal-hal yang ada bukan
karena pilihan dan tindakan kita, sedangkan falsafah praktis adalah pengetahuan
tentang hal-hal yang ada berdasarkan pilihan dan tindakan kita. Ibn Sina
berpendapat bahwa jiwa adalah wujud rohani (imateri) yang berada dalam tubuh.
Wujud imateri yang tidak berada dalam atau tidak langsung mengendalikan tubuh
disebut akal. Akan tetapi, apabila mengendalikan secara langsung disebut jiwa.
Badan bisa berubah-ubah secara fisik, tetapi jiwa ada sebelum badan itu ada dan
berubah.
Biografi
Dalam sejarah pemikiran falsafah Abad Pertengahan, sosok
Ibn Sina sebagai faylasuf Muslim, tidak hanya unik, tetapi juga memperoleh
penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern.[1] ia adalah satu-satunya
faylasuf besar Islam yang telah berhasil membangun sistem falsafah yang lengkap
dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi falsafah Muslim
beberapa abad setelahnya. Lahirnya para tokoh falsafah di Cordoba merupakan
bukti kemajuan intelektual Islam yang sangat tinggi.[2]
Nama lengkap Ibn Sina yaitu Abu Ali Al-Husain Ibn
Abdullah ibn Ali Ibn Sina. Nama pendeknya Abu Ali. Ia dikenal sebagai
Asy-Syaikh Ar-Rais, gelarnya yaitu guru besar dan kepala, menunjuk pada status
terkemukanya dalam mengajar dan posisinya yang tinggi sebagai wajir.[3] Ibn
Sina lahir di Afshanah (desa kecil dekat Bukhara, Ibu kota Dinasti Samaniyah).
Ayahnya adalah seorang Gubernur Kharmayathnah (Bukhara). Biografinya disebarkan
oleh para ma’arikh Islam. Ibn Sina ketika umur 10 tahun telah menguasai
al-Quran dan sastra. Hal ini membangkitkan kekaguman yang luar biasa
terhadapnya. Kemudian Ibn Sina dibimbing oleh faylasuf yang bernama Abdillah
An-Natali yang mengajarinya logika. Ketika mulai tertarik pada ilmu kedokteran,
Ibn Sina belajar pada Isa bin Yahya. Kemudian menekuni ilmu syariat dan
geometri.[4]
Ibn Sina dikenal sebagai intelektual dokter dan falsafah
Islam termasyhur. Di Barat ia dikenal dengan nama Avicenna. Sejak kecil Ibn
Sina belajar menghafal al-Quran dan ilmu-ilmu agama. Kemudian, ia mempelajari
matematika, logika, fisika, geometri, astronomi, hukum islam, teologi,
kedokteran, dan metafisika. Dengan demikian ia menguasai bermacam-macam ilmu
pengetahuan.
Profesinya di bidang kedokteran dimulai sejak umur 17
tahun. Kepopulerannya sebagai dokter bermula ketika Ibn Sina berhasil
menyembuhkan Nuh bin Mansur (976-997), salah seorang penguasa dinasti
Samaniah.[5] Sejak saat itu Ibn Sina mendapat sambutan yang baik sekali dan
dapat pula mengunjungi perpustakaannya yang penuh dengan buku-buku yang sukar
didapat dan kemudian dibacanya dengan penuh keasyikan. Tetapi perpustakaan itu
terbakar dan tuduhan orang ditimpakan kepadanya; ia dituduh dengan sengaja
membakarnya agar orang lain tidak lagi bisa mengambil manfaat dari perpustakaan
itu.[6]
Pada saat usianya menginjak 20 tahun, Ibn Sina ditinggal
wafat oleh ayahnya. Sepeninggal ayahnya itu, ia meninggalkan Bukhara untuk
menuju Jurjan dan dari sini ia pergi ke Khawarazn. Di Jurjan ia mengajar dan
mengarang. Tetapi ia tidak lama tinggal di Jurjan disebabkan kekacauan politik.
Sesudah itu ia berpindah-pindah dari negeri satu ke negeri yang lain, dan
akhirnya sampai di Hamadzan. Syamsuddaulah adalah penguasa negeri Hamadzan dan
Ibn Sina diangkat menjadi menterinya beberapa kali sesudah ia dapat mengobati
penyakit yang dideritanya meskipun pada masa tersebut ia pernah
dipenjarakan.[7] Hidup Ibn Sina penuh dengan kesibukan bekerja dan mengarang,
penuh pula dengan kesenangan dan kepahitan hidup. Pada tahun 428 H/1037 M. ia
meninggal dunia di Hamadzan pada usia 58 tahun disebabkan terkena penyakit mag.
Daftar Pustaka
Al-Ahnawi, Fuad Ahmad. Filsafat Islam, terj. Tim Pustaka
Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997).
Al-Ahnawi, Fuad Ahmad, Ibnu Sina (Kairo: Dar Al-Maktab,1968).
Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran filsafat Islam
(Jakarta: Bumi Aksara).
Asy-Syarafa, Ismail. Ensiklopedi Filsafat (Jakarta Timur:
Khalifa Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005).
Dahlan, Abdul Azis. “Filsafat” dalam Eksiklopedi Tematis
Dunia Islam, Cet.II, Jilid 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003).
Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Lehtiar Baru Van Hoeve,
1994).
Sudarso, Filsafat Islam, cet. I, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1997).
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah
II (Jakarta: Rajawali Pers, 2008).
[1] Fuad Ahmad Al-Ahwani, Filsafat Islam, terj. Tim
Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pusataka Firdaus,1997), h.82.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah
Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 101.
[3] Fuad Ahmad Al-Ahwani, Ibnu Sina (Kairo: Dar
Al-Maktab,1968), h.18.
[4] Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat (Jakarta
Timur: Khalifa Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005), Cet. 1, h. 10.
[5] Ensiklopedi
Islam (Jakarta: PT. Lehtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 167.
[6] Sudarso, Filsafat Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1997), Cet. I, h. 40.
[7] Sudarso, Filsafat Islam, h.140.
[8] Abdul Azis Dahlan, “Filsafat” dalam Eksiklopedi
Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,2003), Cet.II, Jilid 4,
h.200.
[9] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung:
Pustaka Setia,2009), Cet.I, h.139.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar