Jiwa dalam Pandangan Ibn Sina - Seri Filsafat - Spiritual Society of Indonesia

Breaking

Post Top Ad

SPIRITUAL SOCIETY

Post Top Ad

SPIRITUAL SOCIETY

Kamis, 27 Desember 2018

Jiwa dalam Pandangan Ibn Sina - Seri Filsafat



Ibn Sina merupakan seorang failasuf, ilmuwan, dokter, dan penulis aktif yang lahir di zaman keemasan peradaban Islam. Pada zaman tersebut, ilmuwan-ilmuwan Muslim banyak menerjemahkan teks ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia, dan India. Ibn sina merupakan seorang faylasuf yang telah berhasil membangun sistem falsafah yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang mendominasi tradisi falsafah Muslim beberapa abad setelahnya.

Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam. Ia adalah seorang faylasuf yang mencatat dan menggambarkan anatomi tubuh manusia secara lengkap untuk pertama kalinya dan juga mengenai jiwa. Jiwa bagi Ibn Sina merupakan wujud rohani (imateri) yang berada dalam tubuh. Badan bisa berubah-ubah secara fisik, akan tetapi jiwa ada sebelum badan itu ada dan berubah. Pada makalah ini akan dijelaskan pemikiran Ibn Sina mengenai Jiwa.


Konsep Jiwa

Menurut Ibn Sina, tujuan falsafah adalah untuk menetapkan realitas segala sesuatu, sepanjang hal itu mungkin bagi manusia. Ada dua tipe falsafah, yaitu teoritis dan prkatis. Yang pertama mencari pengetahuan tentang kebenaran, sedangkan yang kedua pengetahuan tentang kebaikan. Tujuan falsafah teoritis adalah menyempurnakan jiwa melalui pengetahuan semata-mata. 

Tujuan falsafah praktis adalah menyempurnakan jiwa melalui pengetahuan tentang apa yang seharusnya dilakukan sehingga jiwa bertindak sesuai dengan pengetahuan tersebut. Falsafah teoritis adalah pengetahuan tantang hal-hal yang ada bukan karena pilihan dan tindakan kita, sedangkan falsafah praktis adalah pengetahuan tentang hal-hal yang ada berdasarkan pilihan dan tindakan kita.

Menurut Ibn Sina, munculnya jiwa (vital principle) sebagai “daya adijasmani”  berawal dari persenyawaan elemen-elemen primer kehidupan di bawah pengaruh benda-benda langit. Yang pertama kali muncul adalah jiwa nabati, diikuti oleh jiwa hewani, dan diakhiri oleh jiwa manusiawi. Jiwa nabati didefinisikannya sebagai dasar pertumbuhan dan reproduksi; jiwa hewani sebagai dasar gerak (kehendak) dan penangkapan terhadap rangsangan-rangsangan partikular; dan jiwa manusiawi sebagai dasar pertimbangan dan pemahaman terhadap hal-hal yang universal.

Ibn Sina memberikan definisi umum tentang jiwa menggunakan kata-kata Aristoteles sebagai “kesempurnaan pertama dari benda organik yang alami”. Sebagai daya serap terhadap hal-hal yang partikular dan bergerak sesuai dengan kehendak disebut jiwa hewani; sebagai daya untuk menserap hal-hal universal dan bertindak atas dasar pertimbangan dan pilihan disebut jiwa manusiawi; dan sebagai daya untuk tumbuh berkembang, dan mereproduksi sejenisnya disebut jiwa nabati.

Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibn Sina ialah falsafahnya tentang jiwa. Di dalam masalah kejiwaan, ia termasuk penganut faham dualisme (sanawiyah). Baginya, substansi jiwa itu berlainan sama sekali dari materi tubuh, meskipun ia berasal dari pokok yang sama yakni Akal Aktif, tetapi ia mempunyai perbedaan-perbedaan yang prinsipil.

Ada tiga dalil pembuktian yang dikemukakan oleh Ibn Sina tentang substansi jiwa tersebut. Pertama, saat manusia merenungkan dirinya, pada waktu itu secara sadar ia mengenal bahwa dirinya “ada” selama hidupnya. Kedua, bila seseorang menghadapi suatu persoalan secara serius, ia akan menumpahkan segenap perhatiannya pada persoalan tersebut. Pada waktu itu, ia merasa dirinya bebas dari raga sehingga ia berani berkata saya akan berbuat begini begitu tanpa merasa terikat dengan raga. Ketiga, manusia mampu menghimpun secara sadar akan aktivitas-aktivitas fisik organisme yang dilakukannnya tanpa kesulitan. Pengenalan terhadap aktivitas-aktivitas fisik menjadi bukti bahwa niwa berbeda dari fisik.

Untuk membuktikan adanya jiwa, Ibn Sina mengajukan beberapa argumen, yakni:

Argumen  psikofisik :
Ibn Sina mengatakan bahwa gerak dapat dibedakan kepada gerak terpaksa, yaitu gerak yang didorong oleh unsur luar, dan gerak tidak terpaksa. Gerakan tidak terpaksa ada yang terjadi sesuai dengan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.

Argumen “aku” dan kesatuan fenomena psikologis
Argumen ini oleh Ibn Sina didasarkan pada hakikat manusia. Jika seseorang membicarakan pribadinya atau mengajak orang lain berbicara, yang dimaksud hakikatnya adalah jiwanya bukan jisimnya. Contoh, ketika seseorang berkata “saya akan keluar” atau “saya akan tidur” maka ketika itu yang dimaksud bukanlah gerak kaki atau memejamkan mata, tetapi hakikatnya adalah jiwa.

Argumen kontinuitas
Dalil ini didasarkan pada perbandingan jiwa dan jasad. Jasad manusia senantiasa mengalami perubahan dan pergantian. Kulit yang kita pakai sekarang ini tidak sama dengan kulit sepuluh tahun yang lewat karena telah mengalami perubahan, seperti mengerut dan berkurang. Demikian pula halnya dengan bagian jasad yang lain, selalu mengalami perubahan. Sementara itu, jiwa bersifat tetap, tidak mengalami perubahan dan pergantian. Jiwa yang kita pakai sekarang adalah jiwa sejak lahir juga dan akan berlangsung selama umur tanpa mengalami perubahan. Oleh karena itu, jiwa berbeda dengan jasad.

4)   Argumen manusia terbang di udara

Yaitu misalkan ada seseorang tercipta sekali jadi dan mempunyai wujud yang sempurna. Kemudian diletakkan di udara dengan mata tertutup. Ia tidak melihat apapun. Anggota jasadnya dipisah-pisahkan sehingga ia tidak merasakan apa-apa. Dalam kondisi demikian, ia tetap yakin bahwa dirinya ada. Di saat itu ia menghayalkan adanya tangan, kaki, dan organ jasad lainnya, tetapi organ jasad tersebut ia khayalkan bukan dari bagian dirinya. Dengan demikian, berarti penetapan tentang wujud dirinya bukan hal dari indera dan jasmaninya, melainkan dari sumber lain yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa.

Hubungan Jiwa dan Raga

Ibn Sina berpendapat bahwa jiwa adalah wujud rohani (imateri) yang berada dalam tubuh. Wujud imateri yang tidak berada dalam atau tidak langsung mengendalikan tubuh disebut akal. Akan tetapi, apabila mengendalikan secara langsung disebut jiwa. Badan bisa berubah-ubah secara fisik, tetapi jiwa ada sebelum badan itu ada dan berubah.[8]

Sebagaimana Aristoteles, Ibn Sina menekankan eratnya hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles menoalak suatu pandangan dua substansi, yang oleh Ibn Sina diyakininya sebagai bentuk dari dualisme radikal. Sejauh mana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian merupakan suau pertanyaan yang berbeda: Ibn Sina tentu tidak menggunakan dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan jiwa-raga. Menurut Ibn Sina, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih langsung tentang substansialitas nonbadan, jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen, tetapi sebagai pembuka mata.

Alasan itu dikemukakan oleh Ibn Sina di dalam Asy-Syifa bahwa manusia diciptakan dalam keadaan dewasa Tetapi dalam kondisi semacam itu, ia dilahirkan dalam keadaan lemah sebab tubuhnya tak dapat menyentuh apa-apa dan ia tidak dapat memahami apa-apa tentang dunia lahiriah ini. Kita perhatikan pula bahwa ia tidak dapat melihat tubuhnya sendiri, dan bahwa anggota-anggota badannya tercegah dari kesaling-sentuhan, sehingga ia tidak memiliki persepsi rasa apa pun. 

Orang semacam itu tidak akan mengetahui dunia ini, bahkan keberadaan dirinya sebagai wujud spritual yang murni. Apa yang diketahuinya tentu tidak sama dengan apa yang tidak diketahuinya. Oleh karena itu, jiwa merupakan suatu substansi yang bebas dari tubuhnya. Di sini Ibn Sina menjelaskan bahwa suatu hal yang imajinatif tidak mungkin direalisasi, tetapi pokok sesungguhnya, seperti Descartes adalah bahwa kita dapat memikirkan tubuh kita dan meragukan kemaujudannya, tetapi kita tidak dapat memikirkan jiwa kita.

Jiwa dalam keberadaan hakikinya dengan demikian merupakan suatu substansi yang independen dan adalah diri kita yang transendental. Argumentasi-argumentasi Ibn Sina tentang keabadian jiwa didasarkan atas pandangan bahwa jiwa merupakan suatu substansi dan bukan suatu bentuk tubuh, yang kepada bentuk itu, jiwa dikaitkan erat-erat oleh suatu hubungan mistik tertentu keduanya. Di dalam jiwa yang muncul dari substansi terpisah intelegensi aktif bersama dengan munculnya suatu tubuh dengan tempramen tertentu terdapat suatu kecenderungan tertentu untuk mengaitkan dirinya dengan tubuh, merawatnya, dan mengarahkan sedemikian rupa sehingga saling menguntungkan. Selanjutnya jiwa sebagai nonbadani, merupakan suatu substansi yang sederhana. Substansi ini menjamin kesinambungan hidupnya bahkan bila tubuh itu sendiri telah rusak.

Namun, jika pada taraf transendental, jiwa itu merupakan suatu wujud rohaniah murni dan tubuh belum ada, bahkan sebagai suatu konsep relasional sekalipun, pada taraf fenomenal, tubuh mesti sudah dapat ditentukan wujudnya sebagaimana sebuah bangunan ditentukan wujudnya oleh seorang pembangun gedung. Itulah sebabnya, Ibn Sina berkata bahwa studi tentang aspek fenomenal jiwa termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan alam, sedangkan wujud transendentalnya termasuk dalam studi metafisika.[9]

Oleh karena itu, Ibn Sina menolak sepenuhnya gagasan tentang identitas yang mungkin dari dua jiwa atau dari ego yang terlabur dengan ego Ilahi, dan ia menekankan bahwa kesinambungan hidupnya mestilah bersifat individual. Merupakan suatu fakta utama pengalam bahwa setiap individu menyadari identitas dirinya yang tidak dapat digoyahkan oleh argumentasi apa pun.

Dengan demikian, hubungan antara jiwa dan tubuh sangat erat sehingga hal ini bisa pula memengaruhi akal. Sudah tentu, semua perbuatan dan keadaan psikofisik lainnya memiliki kedua aspek tersebut, yaitu mental dan fisik. Misalnya pengaruh pikiran terhadap tubuh, yaitu pengaruh emosi dan kemauan. Ibn Sina mengatakan, “Berdasarkan pengalaman medisnya bahwa sebenarnya secara fisik orang-orang yang sakit, hanya dengan kekuatan kemauannyalah, dapat menjadi sembuh dan begitu pula orang-orang sehat dapat menjadi benar-benar sakit, bila terpengaruh oleh pikirannya bahwa ia sakit. Sebenarnya kalau jiwa cukup kuat, jiwa dapat menyembuhkan dan menyehatkan badan lain tanpa sarana apa pun”.


Ibn Sina memahami tujuan falsafah adalah penetapan realitas segala sesuatu, sepanjang hal itu mungkin bagi manusia. Ada dua tipe falsafah, yaitu teoritis dan prkatis. Yang pertama mencari pengetahuan tentang kebenaran, sedangkan yang kedua pengetahuan tentang kebaikan. Tujuan falsafah teoritis adalah menyempurnakan jiwa melalui pengetahuan semata-mata. Tujuan falsafah praktis adalah menyempurnakan jiwa melalui pengetahuan tentang apa yang seharusnya dilakukan sehingga jiwa bertindak sesuai dengan pengetahuan tersebut. falsafah teoritis adalah pengetahuan tantang hal-hal yang ada bukan karena pilihan dan tindakan kita, sedangkan falsafah praktis adalah pengetahuan tentang hal-hal yang ada berdasarkan pilihan dan tindakan kita. Ibn Sina berpendapat bahwa jiwa adalah wujud rohani (imateri) yang berada dalam tubuh. Wujud imateri yang tidak berada dalam atau tidak langsung mengendalikan tubuh disebut akal. Akan tetapi, apabila mengendalikan secara langsung disebut jiwa. Badan bisa berubah-ubah secara fisik, tetapi jiwa ada sebelum badan itu ada dan berubah.

 Biografi

Dalam sejarah pemikiran falsafah Abad Pertengahan, sosok Ibn Sina sebagai faylasuf Muslim, tidak hanya unik, tetapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern.[1] ia adalah satu-satunya faylasuf besar Islam yang telah berhasil membangun sistem falsafah yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi falsafah Muslim beberapa abad setelahnya. Lahirnya para tokoh falsafah di Cordoba merupakan bukti kemajuan intelektual Islam yang sangat tinggi.[2]

Nama lengkap Ibn Sina yaitu Abu Ali Al-Husain Ibn Abdullah ibn Ali Ibn Sina. Nama pendeknya Abu Ali. Ia dikenal sebagai Asy-Syaikh Ar-Rais, gelarnya yaitu guru besar dan kepala, menunjuk pada status terkemukanya dalam mengajar dan posisinya yang tinggi sebagai wajir.[3] Ibn Sina lahir di Afshanah (desa kecil dekat Bukhara, Ibu kota Dinasti Samaniyah). Ayahnya adalah seorang Gubernur Kharmayathnah (Bukhara). Biografinya disebarkan oleh para ma’arikh Islam. Ibn Sina ketika umur 10 tahun telah menguasai al-Quran dan sastra. Hal ini membangkitkan kekaguman yang luar biasa terhadapnya. Kemudian Ibn Sina dibimbing oleh faylasuf yang bernama Abdillah An-Natali yang mengajarinya logika. Ketika mulai tertarik pada ilmu kedokteran, Ibn Sina belajar pada Isa bin Yahya. Kemudian menekuni ilmu syariat dan geometri.[4]

Ibn Sina dikenal sebagai intelektual dokter dan falsafah Islam termasyhur. Di Barat ia dikenal dengan nama Avicenna. Sejak kecil Ibn Sina belajar menghafal al-Quran dan ilmu-ilmu agama. Kemudian, ia mempelajari matematika, logika, fisika, geometri, astronomi, hukum islam, teologi, kedokteran, dan metafisika. Dengan demikian ia menguasai bermacam-macam ilmu pengetahuan.

Profesinya di bidang kedokteran dimulai sejak umur 17 tahun. Kepopulerannya sebagai dokter bermula ketika Ibn Sina berhasil menyembuhkan Nuh bin Mansur (976-997), salah seorang penguasa dinasti Samaniah.[5] Sejak saat itu Ibn Sina mendapat sambutan yang baik sekali dan dapat pula mengunjungi perpustakaannya yang penuh dengan buku-buku yang sukar didapat dan kemudian dibacanya dengan penuh keasyikan. Tetapi perpustakaan itu terbakar dan tuduhan orang ditimpakan kepadanya; ia dituduh dengan sengaja membakarnya agar orang lain tidak lagi bisa mengambil manfaat dari perpustakaan itu.[6]

Pada saat usianya menginjak 20 tahun, Ibn Sina ditinggal wafat oleh ayahnya. Sepeninggal ayahnya itu, ia meninggalkan Bukhara untuk menuju Jurjan dan dari sini ia pergi ke Khawarazn. Di Jurjan ia mengajar dan mengarang. Tetapi ia tidak lama tinggal di Jurjan disebabkan kekacauan politik. Sesudah itu ia berpindah-pindah dari negeri satu ke negeri yang lain, dan akhirnya sampai di Hamadzan. Syamsuddaulah adalah penguasa negeri Hamadzan dan Ibn Sina diangkat menjadi menterinya beberapa kali sesudah ia dapat mengobati penyakit yang dideritanya meskipun pada masa tersebut ia pernah dipenjarakan.[7] Hidup Ibn Sina penuh dengan kesibukan bekerja dan mengarang, penuh pula dengan kesenangan dan kepahitan hidup. Pada tahun 428 H/1037 M. ia meninggal dunia di Hamadzan pada usia 58 tahun disebabkan terkena penyakit mag.


Daftar Pustaka

Al-Ahnawi, Fuad Ahmad. Filsafat Islam, terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997).
Al-Ahnawi, Fuad Ahmad, Ibnu Sina (Kairo: Dar Al-Maktab,1968).
Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara).
Asy-Syarafa, Ismail. Ensiklopedi Filsafat (Jakarta Timur: Khalifa Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005).
Dahlan, Abdul Azis. “Filsafat” dalam Eksiklopedi Tematis Dunia Islam, Cet.II, Jilid 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003).
Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Lehtiar Baru Van Hoeve, 1994).
Sudarso, Filsafat Islam, cet. I, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997).
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Jakarta: Rajawali Pers, 2008).
[1] Fuad Ahmad Al-Ahwani, Filsafat Islam, terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pusataka Firdaus,1997), h.82.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 101.
[3] Fuad Ahmad Al-Ahwani, Ibnu Sina (Kairo: Dar Al-Maktab,1968), h.18.
[4] Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat (Jakarta Timur: Khalifa Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005), Cet. 1, h. 10.
[5]  Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Lehtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 167.
[6] Sudarso, Filsafat Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), Cet. I, h. 40.
[7] Sudarso, Filsafat Islam, h.140.
[8] Abdul Azis Dahlan, “Filsafat” dalam Eksiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,2003), Cet.II, Jilid 4, h.200.
[9] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia,2009), Cet.I, h.139.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here