Aliran Filsafat Perenialisme dalam Pendidikan
Filsafat dalam bahasa Arab falsafah yang dalam bahasa
Inggris dikenal dengan istilah philosophy yang berasal dari bahasa Yunani
philosophia yang terdiri dari kata philein yang berarti cinta (love) dan sophia
yang berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga secara etimologi filsafat berarti cinta
kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti yang sedalam-dalamnya (Surajiyo,
2008:3).
Sebagian lain mengatakan bahwa filsafat adalah cinta akan kebenaran.
Filsafat sering pula diartikan sebagai pandangan hidup (Barnadib, 1994:11).
Dalam dunia pendidikan, filsafat mempunyai peranan yang sangat besar. Karena,
filsafat yang merupakan pandangan hidup itu menentukan arah dan tujuan proses
pendidikan.
Filsafat dan pendidikan memiliki hubungan yang erat, karena
pada hakekatnya pendidikan adalah proses pewarisan dari nilai-nilai filsafat
dan filsafat itu adalah teori umum dari pendidikan, landasan dari semua
pemikiran mengenai pendidikan (Dewey, 1946:383). Dalam pendidikan diperlukan
bidang filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan sendiri adalah ilmu yang
mempelajari dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah
pendidikan yang bersifat filosofis.
Secara filosofis, pendidikan adalah hasil
dari peradaban suatu bangsa yang terus menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita
dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan
yang melembaga di dalam masyarakatnya.
Ajaran filsafat adalah hasil pemikiran filosofis tentang
sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan persoalan masing-masing filosofis
akan menggunakan teknik atau pendekatan yang berbeda, sehingga melahirkan
kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh
latar belakang pribadi filosofis tersebut, pengaruh zaman, kondisi atau alam
pikiran para filosofis. Dari perbedaan itu kemudian lahirlah aliran-aliran atau
sistem filsafat.
Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis
diberbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk
mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluar
yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal
dan teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak
mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan
tangguh.
Perenialisme memandang pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat
perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Dengan kata
lain pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau, karena
dengan mengembalikan keadaan masa lampau ini, kebudayaan yang dianggap krisis
ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat
perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang.
Perenialisme memandang pendidikan itu sebagai jalan kembali
yaitu sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman modern) ini
terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan kemasa lampau.
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya
mempunyai kesatuan, dimana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang
memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus.
Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan
yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat khususnya filsafat
pendidikan.
Setelah perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan
politik industri yang cukup berat timbulah usaha untuk bangkit kembali, dan
perenialisme berharap agar manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya
yang menganggap filsafat sebagai suatu asas yang komprehensif Perenialisme
dalam makna filsafat sebagai satu pandangan hidup yang bcrdasarkan pada sumber
kebudayaan dan hasil-hasilnya.
Dari uraian di atas, maka yang menjadi batasan kajian dalam
masalah ini diantaranya membahas pengertian aliran perenialisme, tokoh-tokoh
aliran perenialisme, dan konsep dasar/pandangan perenialisme.
A. Aliran
Perenialisme
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang
lahir pada abad ke-20. Perenialisme lahir dari suatu reaksi terhadap pendidikan
progresif. Perenialis menentang pandangan progresivisme yang menekankan
perubahan dan sesuatu yang baru.
Perenialisme memandang situasi dunia dewasa
ini penuh kekacauan, ketidakpastian, terutama dalam kehidupan moral,
intelektual, dan sosiokultural.
Solusi yang ditawarkan kaum perenialis adalah dengan jalan
mundur ke belakang dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip
umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan
abad pertengahan. Peradaban – kuno (Yunani Purba) dan abad pertengahan dianggap
sebagai dasar budaya bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa dari abad keabad
(Sa’dullah, 2009:151).
Pandangan-pandangan yang telah menjadi dasar budaya manusia
tersebut, telah teruji kemampuan dan kekukuhan oleh sejarah.
Pandangan-pandangan Plato dan Aristoteles mewakili peradapan Yunani Kuno, serta
ajaran Thomas Aquina dari abad pertengahan. Kaum perenialis percaya bahwa
ajaran dari tokoh-tokoh tersebut memiliki kualitas yang dapat dijadikan
tuntutan hidup dan kehidupan manusia pada abad ke dua puluh ini.
Mohammad Noor Syam (1984) mengemukan pandangan perenialisme,
bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada
kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.
Perenialisme tidak melihat jalan yang menyakinkan selain, kembali pada
prinsip-prinsip yang telah sedemikian rupa membentuk suatu sikap kebiasaan, bahwa
kepribadian manusia yaitu kebudayaan dahulu (Yunani Kuno).
Menurut Ali Saifullah, aliran perenialisme termasuk dalam
kategori filsafat pendidikan akademis-skolastik. Kategori ini meliputi dua
kelompok yakni aliran perenialisme sendiri, essensialisme, idealisme dan
realisme, dan kelompok progressif meliputi progresivisme, rekonstruksionisme
dan eksistensialisme.
Perenialisme diambil dari kata perennial, yang diartikan
sebagai continuing throughout the whole yearatau lasting for a very long time,
yang bermakna abadi atau kekal. Dari makna tersebut mempunyai maksud bahwa
Perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai
dan norma-norma yang bersifat kekal dan abadi (Khobir, 2009:62).
Perenialisme
memberikan pemecahan dengan jalan regressive road to culture, yaitu jalan
kembali atau mundur kepada kebudayaan lama (masa lampau), kebudayaan yang
dianggap ideal dan telah teruji ketangguhannya. Disinilah pendidikan mempunyai
peranan yang penting dalam rangka mengembalikan keadaan manusia modern kepada
kebudayaan masa lampau yang ideal tersebut.
Perenialisme mempunyai ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri
itu adalah (Sadullah Uyoh,2004:23) :
1) Perenialisme berakar pada tradisi filosofis
klasik yang dikembangkan oleh plato, Aristoteles dan Santo Thomas Aquines.
2) Sasaran pendidikan ialah kemampuan menguasai
prinsip kenyataan, kebenaran dan nilai-nilai abadi dalam arti tak terikat oleh
ruang dan waktu.
3) Nilai bersifat tak berubah dan universal.
4) Bersifat
regresif (mundur) dengan memulihkan kekacauan saat ini melalui nilai zaman
pertengahan (renaissance).
B. Latar
Belakang Munculnya Aliran Perenialisme
Teori kependidikan kalangan perenialis mencuat sebagai
sebuah pemikiran formal (resmi) pada dekade 1930-an sebagai bentuk reaksi
terhadap kalangan progresif. Perenialisme modern secara umum menampilkan sebuah
penolakan besar-besaran terhadap cara pandang progresif.
Bagi kalangan
perenealis, permanensi (keajegan), meskipun pergolakan-pergolakan politik dan
sosial yang sangat menonjol, adalah lebih riil (nyata) dari pada konsep
perubahan kalangan pragmatis. Dengan demikian kalangan perenialis mempelopori
gerakan kembali pada hal-hal absolut dan memfokuskan pada ide-gagasan yang
luhur (menyejarah dari budaya manusia), ide-gagasan ini telah terbukti
keabsahan dan kegunaannya karena mampu bertahan dari ujian waktu. Perenialisme
menekankan arti penting akal budi, nalar, dan karya-karya besar pemikir masa
lalu (George, 2007:165)
Oleh karena itu perenialisme memandang pendidikan adalah
sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang
seperti dalam kebudayaan ideal dimaksud, “education as cultural regression.”
Perenialisme tak melihat jalan yang meyakinkan selain kembali kepada
prinsip-prinsip yang telah sedemikian membentuk sikap kebiasaan, bahkan
kepribadian manusia selain kebudayaan dulu dan kebudayaan abad pertengahan
(Opcit, 2005:63)
C. Tokoh-Tokoh Aliran Perenialisme
1) Plato
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat
dengan ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran
moral merupakan sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu
tidak ada kepastian dalam moral, tidak ada kepastian dalam kebenaran,
tergantung pada masing-masing individu. Plato berpandangan bahwa realitas yang
hakiki itu tetap tidak berubah. Realitas atau kenyataan-kenyataan itu tidak ada
pada diri manusia sejak dari asalnya, yang berasal dari realitas yang hakiki.
Menurut Plato, “dunia ideal”, bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan.
Kebenaran, pengetahuan, dan nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang semuanya
bersumber dari ide yang mutlak tadi. Manusia tidak mengusahakan dalam arti
menciptakan kebenaran, pengetahuan, dan nilai moral, melainkan bagaimana
manusia menemukan semuanya itu. Dengan menggunakan akal dan rasio, semuanya itu
dapat ditemukan kembali oleh manusia.
2) Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM), adalah murid Plato, namun dalam
pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil
pemikirannya disebut filsafat realism (realism klasik). Cara berfikir
Aristoteles berbeda dengan gurunya, Plato, yang menekankan berfikir rasional
spekulatif. Aristoteles mengambil cara berfikir rasional empiris realitas. Ia
mengajarkan cara berfikir atas prinsip realitas, yang lebih dekat dengan alam
kehidupan manusia sehari-hari.
Aristoteles hidup pada abad keempat sebelum Masehi, namun ia
dinyatakan sebagai pemikir abad pertengahan. Karya-karya Aristoteles merupakan
dasar berfikir abad pertengahan yang melahirkan renaissance. Sikap positifnya
terhadap inkuiry menyebabkan ia mendapat sebutan sebagai Bapak Sains Modern.
Kebajikan akan menghasilkan kabahagiaan dan kebajikan, bukanlah pernyataan
pemikiran atau perenuangan pasif, melainkan merupakan sikap kemauan yang baik
dari manusia.
Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan
rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya
berada dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk rohani manusia
sadar akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia
ideal, manusia sempurna.
Manusia sebagai hewan rasional memiliki kesadaran
intelektual dan spiritual, ia hidup dalam alam materi sehingga akan menuju pada
derajat yang lebih tinggi, yaitu kehidupan yang abadi, alam supernatural.
3) Thomas
Aquina
Thomas Aquina ini mempunyai pandangan bahwa pendidikan
adalah menarik atau menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur menjadi aktif
dan nyata yang timbul dan bergantung dari kesadaran-kesadaran yang mendukungnya
pada tiap-tiap individu.
Tuntunan yang berasal dari guru kepada anak didik berwujud
sebagai bahan pengajaran, yang berfungsi untuk membantu substansi manusia untuk
berkembang dan kaya akan pengalaman-pengalaman yang berasal dari luar.
Sedangkan tugas seorang guru dapat dianalogikan dengan seorang dokter.
Guru adalah penghubung antara kebenaran-realita tertinggi
dengan anak didik sebagai makhluk yang selalu berusaha untuk mengerti dan
menginsyafi perihal realita dengan segala macam bentuk dan tingkat-tingkatnya.
Dokter membantu organisme yang sakit atau luka dalam tendensi herensinya untuk
menyembuhkan diri sendiri (Barnadib, 1998:73).
Pandangan menurut Thomas Aquinas ini mencoba mempertemukan
suatu pertentangan yang muncul pada waktu itu, yaitu antara ajaran Kristen
dengan filsafat (sebetulnya dengan filsafat Aristoteles, sebab pada waktu itu
yang dijadikan dasar pemikiran logis adalah filsafat neoplatonisme dari
Plotinus yang dikembangkan oleh St. Agustinus.
Menurut Aquina, tidak terdapat
pertentangan antara filsafat (khususnya filsafat Aristoteles) dengan ajaran
agama (Kristen). Keduanya dapat berjalan dalam lapangannya masing-masing.
Thomas Aquina secara terus menerus dan tanpa ragu-ragu mendasarkan filsafatnya
kepada filsafat Aristoteles.
Pandangan tentang realitas, ia mengemukakan, bahwa segala
sesuatu yang ada, adanya itu karena diciptakan oleh Tuhan, dan tergantung
kepada-Nya. Ia mempertahankan bahwa Tuhan, bebas dalam menciptakan dunia. Dunia
tidak mengalir dari Tuhan bagaikan air yang mengalir dari sumbernya, seperti
halnya yang dipikirkan oleh filosof neoplatonisme dalam ajaran mereka tentang
teori “emanasi”. Thomas aquina menekankan dua hal dalam pemikiran tentang
realitannya, yaitu :
1) dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar, dan
2)
penciptaan tidak terbatas pada satu saat saja,
demikian menurut Bertens (1979).
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquina mengemukaan bahwa
pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan dunia luar dan oleh akal budi,
menjadi pengetahuan. Selain pengetahuan manusia yang bersumber dari wahyu,
manusia dapat memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman dan rasionya
(disinilah ia mempertemukan pandangan filsafat idealism, realism, dan ajaran
gerejanya). Filsafat Thomas Aquina disebut tomisme. Kadang-kadang orang tidak
membedakan antara perenialisme dengan neotonisme. Perenialisme adalah sama
dengan neotonisme dalam pendidikan
D. Konsep Dasar /
Pandangan Aliran Perenialisme
1. Pandangan
Ontologi Perenialisme
Ontologi perenialisme terdiri dari pengertian-pengertian
seperti benda individual, esensi, aksiden dan substansi. Secara ontologis,
perenialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya. Benda
individual di sini adalah benda sebagaimana yang tampak di hadapan manusia dan
yang ditangkap dengan panca indra seperti batu, lembu, rumput, orang dalam
bentuk, ukuran, warna, dan aktivitas tertentu.
Esensi dari suatu kualitas
menjadikan suatu benda itu lebih intrinsik daripada fisiknya, seperti manusia
yang ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Sedangkan aksiden adalah
keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya kurang penting
dibandingkan dengan esensial.
Dengan demikian, segala yang ada di alam semesta ini,
seperti manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, merupakan hal yang logis dalam
karakternya. Setiap sesuatu yang ada tidak hanya merupakan kombinasi antara zat
atau benda, tapi juga merupakan unsur potensialitas dengan bentuk yang
merupakan unsur aktualitas.
Sejalan dengan apa yang dikatakan Poedjawijatna, bahwa
esensi dari kenyataan itu adalah menuju ke arah aktualitas, sehingga makin lama
makin jauh dari potensialitasnya. Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia
itu setiap waktu adalah potensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas.
Dengan peningkatan suasana hidup spiritual ini, manusia dapat makin mendekatkan
diri menuju tujuan (teleologis) untuk mendekatkan diri pada supernatural (Tuhan)
yang merupakan pencipta dan tujuan akhir.
2. Pandangan
Epistemologis Perenialisme
Perenialisme berpangkal pada tiga istilah yang menjadi asas
di dalam epistemologi yaitu truth, self evidence, dan reasoning. Bagi
perenialisme truth adalah prasyarat asas tahu untuk mengerti atau memahami arti
realita semesta raya. Sedangkan , self evidence adalah suatu bukti yang ada
pada diri (realita, eksistensi) itu sendiri, jadi bukti itu tidak pada materi
atau realita yang lain, pengertian kita tentang kebenaran hanya mungkin di atas
hukum berpikir (reasoning), sebab pengertian logis misalnya berasal dari
hukum-hukum berpikir.
Dalam pandangan Perenialisme ada hubungan antara ilmu
pengetahuan dengan filsafat, seraya menyadari adanya perbedaan antara kedua
bidang tersebut. Hubungan filsafat dan pengetahuan tetap diakui urgensinya,
sebab analisa-empiris dan analisa ontologis keduanya dianggap Perenialisme
dapat komplementatif meskipun ilmu dan filsafat berkembang ke tingkat yang
makin sempurna, namun tetap diakui bahwa fisafat lebih tinggi kedudukannya
daripada ilmu pengetahuan (Khobir, 2009:65).
3. Pandangan
Aksiologi Perenialisme
Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam Perenialisme,
karena ia berdasarkan pada asas-asas supernatural yaitu menerima universal yang
abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi, hakikat manusia itu yang
pertama-tama adalah jiwanya. Oleh karena itu, hakikat manusia itu juga
menentukan hakikat perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan
spiritual. Dalam aksiologi, prinsip pikiran demikian bertahan dan tetap
berlaku. Secara etika, tindakan itulah yang bersesuaian dengan sifat rasional
manusia, karena manusia itu secara alamiah condong pada kebaikan.
Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki tiga potensi:
nafsu, kemauan, dan pikiran. Maka pendidikan hendaknya berorientasi pada ketiga
potensi tersebut dan pada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap
lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Dengan demikian, hendaknya pendidikan
disesuaikan dengan keadaan manusia yang mempunyai nafsu, kemauan, dan pikiran.
Dengan memperhatikan hal ini, maka pendidikan yang berorientasi pada potensi
dan masyarakat akan dapat terpenuhi (Jalaluddin, 2007:117).
4. Pandangan
Perenialisme Mengenai Kenyataan
Perenialisme berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia
terutama ialah jaminan bahwa realita itu bersifat universal dan ada di mana
saja dan sama di setiap waktu.Dengan keputusan yang bersifat ontologism kita
akan sampai pada pengertian pengerian hakikat. Ontologi perenialisme berisikan
pengertian: benda individual, esensi, aksiden dan substansi. Benda individual
adalah benda yang sebagaimana nampak di hadapan manusia yang dapat ditangkap
oleh indera kita seperti batu, kayu, dan lain-lain.
Esensi dari sesuatu adalah suatu kualitas tertentu yang
menjadikan benda itu lebih baik intrinsik daripada halnya, misalnya manusia
ditinjau dari esensinya adalah berpikir Aksiden adalah keadaan khusus yang
dapat berubah-ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensialnya,
misalnya orang suka barang-barang antik. Substansi adalah suatu kesatuan dari
tiap-tiap hal individu dari yang khas dan yang universal, yang material dan
yang spiritual.
Menurut Plato, perjalanan suatu benda dalam fisika
menerangkan ada 4 kausa, yaitu:
- Kausa materialis yaitu bahan yang menjadi susunan sesuatu benda misalnya telor, tepung dan gula untuk roti.
- Kausa formalis yaitu sesuatu dipandang dari formnya, bentuknya atau modelnya, misalnya bulat, gepeng.
- Kausa efisien yaitu gerakan yang digunakan dalam pembuatan sesuatu cepat, lambat atau tergesa-gesa.
- Kausa finalis adalah tujuan atau akhir dari sesuatu. Katakanlah tujuan pembuatan sebuah patung.
5. Pandangan
Perenialisme Mengenai Nilai
Perenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah
persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sedangkan
perbuatan manusia merupakan pancaran isi jiwanya yang berasal dari dan dipimpin
oleh Tuhan. Secara teologis, manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yaitu
nilai yang merupakan suatu kesatuan dengan Tuhan. Untuk dapat sampai kesana
manusia harus berusaha dengan bantuan akal rationya yang berarti mengandung
nilai kepraktisan.
Menurut Aristoteles, kebajikan dapat dibedakan: yaitu yang
moral dan yang intelektual. Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan
pembentukan kebiasaan, yang merupakan dasar dari kebajikan intelektual.
Jadi, kebajikan intelektual dibentuk oleh pendidikan dan
pengajaran. Kebajikan intelektual didasari oleh pertimbangan dan pengawasan
akal. Oleh perenialisme estetika digolongkan kedalam filsafat praktis. Kesenian
sebagai salah satu sumber kenikmatan keindahan adalah suatu kebajikan
intelektual yang bersifat praktis filosofis. Hal ini berarti bahwa di dalam
mempersoalkan masalah keindahan harus berakar pada dasar-dasar teologis,
ketuhanan.
6. Pandangan
Perenialisme Mengenai Pengetahuan
Kepercayaan adalah pangkal tolak perenialisme mengenai
kenyataan dan pengetahuan. Artinya sesuatu itu ada kesesuaian antara piker
(kepercayaan) dengan benda-benda. Sedang yang dimaksud benda adalah hal-hal
yang adanya bersendikan atas prinsip keabadian. Oleh karena itu, menurut
perenialisme perlu adanya dalil-dalil yang logis, nalar, sehingga sulit untuk
diubah atau ditolak kebenarannya. Menurut Aristoteles, Prinsip-prinsip itu
dapat dirinci menjadi:
a. Principium
identitatis, yaitu identitas sesuatu. Principium contradiksionis (prinsip
kontradiksionis), yaitu hukum kontradiksi (berlawanan). Suatu pernyataan pasti
tidak mengandung sekaligus kebenaran dan kesalahan, pasti hanya mengandung satu
kenyataan yakni benar atau salah.
b. Principium exelusi
tertii (principium ekselusi tertii), tidak ada kemungkinan ketiga. Apabila
pernyataan atau kebenaran pertama salah, pasti pernyataan kedua benar dan
sebaliknya apabila pernyataan pertama benar pastipernyataan yang berikutnya
tidak benar.
c. Principium
rationis sufisientis. Prinsip ini pada dasarnya mengetengahkan apabila barang
sesuatu dapat diketahui asal muasalnya pasti dapat dicari pula tujuan atau
akibatnya.
Perenialisme mengemukakan adanya hubungan antara ilmu
pengetahuan dengan filsafat. Science sebagai ilmu pengetahuan Science yang
meliputi biologi, fisika, sosiologi, dan sebagainya ialah pengetahuan yang
disebut sebagaiempiriological analysis yakni analisa atas individual dan
peristiwa peristiwa pada tingkat pengalaman dan bersifat alamiah. Science
seperti ini dalam pelaksanaan analisa dan penelitiannya mempergunakan metode
induktif. Selain itu, juga mempergunakan metode deduktif, tetapi pusat
penelitiannya ialah meneliti dan mencoba dengan data tertentu yang bersifat
khusus.
Menurut perenialisme, fisafat yang tertinggi ialah ilmu metafisika.
Sebab, science dengan metode induktif bersifat empiriological analysis (analisa
empiris); kebenarannya terbatas, relatif atau kebenarannya probability. Tetapi
filsafat dengan metode deduktif bersifat ontological analysis, kebenaran yang
dihasilkannya universal, hakiki, dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir
sendiri, berpangkal pada hukum pertama; bahwa kesimpulannya bersifat mutlak,
asasi.
Hubungan filsafat dan pengetahuan tetap diakui urgensinya, sebab analisa
empiris dan analisa ontology keduanya dianggap perenialisme dapat
komplementatif. Tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh
hukum-hukum dalam filsafat sendiri, tanpa tergantung kepada ilmu pengetahuan
(Mars, 2012:3).
7. Pandangan
Perenialisme Tentang Belajar
Tuntutan tertinggi dalam belajar menurut Perenialisme,
adalah latihan dan disiplin mental. Maka, teori dan praktik pendidikan haruslah
mengarah kepada tuntutan tersebut. Menurut Barnadib (1997:76) teori dasar dalam
belajar menurut Perenialisme terutama:
a. Mental dicipline
sebagai teori dasar
Menurut Perenialisme latihan dan pembinaan berfikir (mental
dicipline) adalah salah satu kewajiban tertinggi dalam belajar. Karena program
yang diadakan dalam lembaga pendidikan adalah untuk pembinaan berpikir (Khobir,
2009:66).
b. Rasionalitas dan
Asas Kemerdekaan
Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama
pendidikan, otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin.
Kemerdekaan pendidikan hendaknya membantu manusia untuk menjadi dirinya sendiri
(essential self)yang membedakannya dari makhluk yang lain.
c. Learning to
Reasson (Belajar untuk berpikir)
Perlu adanya penanaman pembiasaan pada diri anak sejak dini
dengan kecakapan membaca, menulis, dan berhitung. Dari sini, belajar untuk berpikir
menjadi tujuan pokok sekolah menengah dan universitas.
Learning to Reasson (Belajar untuk berpikir)Sekolah bukanlah
merupakan situasi kehidupan yang nyata. Sekolah bagi anak merupakan
peraturan-peraturan dimana ia bersentuhan dengan hasil yang terbaik dari
warisan sosial budaya.
d. Learning through
teaching (Belajar melalui pengajaran).
Fungsi guru menurut Perenialisme berbeda dengan
essensialisme. Menurut essensialisme guru sebagai perantara antara bahan dengan
anak yang melakukan proses penyerapan. Dalam pandangan Perenialisme, tugas guru
bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai
murid yang mengalami proses belajar mengajar (Ibid, 69).
5. Pandangan
Perenialisme Mengenai Hakikat Guru
Tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru, di mana tugas
pendidikanlah yang memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada
anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada
guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan. Berikut pandangan
aliran perenialisme mengenai guru atau pendidikan:
1) Guru mempunyai
peranan dominan dalam penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di kelas.
2) Guru hendaknya
orang yang menguasai suatu cabang ilmu, seorang guru yang ahli (a master
teacher) bertugas membimbing diskusi yang akan memudahkan siswa menyimpulkan
kebenaran-kebenaran yang tepat, dan wataknya tanpa cela. Guru dipandang sebagai
orang yang memiliki otoritas dalam suatu bidang pengetahuan dan keahliannya
tifdak diragukan.
6. Pandangan
Perenialisme Mengenai Hakikat Murid
Murid dalam aliran perenialisme merupakan makhluk yang
dibimbing oleh prinsip-prinsip pertama, kebenaran-kebenaran abadi, pikiran
mengangkat dunia biologis. Hakikat pendidikan upaya proses transformasi
pengetahuan dan nilai kepada subyek didik, mencakup totalitas aspek
kemanusiaan, kesadaran, sikap dan tindakan kritis terhadap seluruh fenomena
yang terjadi di sekitarnya.
Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan
kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa,
intelek, diri manusia yang rasional; perasaan dan indera. Karena itu pendidikan
harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spiritual,
intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun
secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai
kesempurnaan.
7. Pandangan
Perenialisme Mengenai Pendidikan
Pendidikan menurut
filsafat ini mesti membangun sejumlah mata pelajaran yang umum, bukan
spesialis, liberal bukan vokasionalis, yang humanistik bukan teknikal. Dengan
cara inilah pendidikan akan memenuhi fungsi humanistiknya, yakni pembelajaran
secara umum yang mesti dimiliki oleh manusia (Alwasilah, 2008:104). Sebagai
filsafat pendidikan umumnya, filsafat pendidikan
Perenialisme juga mempengaruhi
sekolah-sekolah modern sekarang, dimana pandangan-pandangan kurikulumnya
mempengaruhi praktik pendidikan.
1) Pendidikan
Dasar dan (Sekolah) Menengah
a. Pendidikan
sebagai persiapan
Perbedaan Progresivisme dengan Perenialisme terutama pada
sikapnya tentang “education as preparation”. Perenialisme berpendapat bahwa
pendidikan adalah persiapan bagi kehidupan di masyarakat. Dasar pandangan ini
berpangkal pada ontologi, bahwa anak ada dalam fase potensialitas menuju
aktualitas, menuju kematangan.
b. Kurikulum
Sekolah Menengah
Prinsip kurikulum pendidikan dasar, bahwa pendidikan sebagai
persiapan, berlaku pula bagi pendidikan menengah. Perenialisme membedakan
kurikulum pendidikan menengah antara program,“general education” dan pendidikan
kejuruan, yang terbuka bagi anak 12-20 tahun (Khobir, 2009:68)
2) Pendidikan
Tinggi dan Adult Education
a. Kurikulum
Universitas
Program “General Education” dipersiapkan untuk pendidikaan
tinggi dan adult education. Pendidikan tinggi sebagai lanjutan pendidikan
menengah dengan program general education yang telah selesai disiapkan, bagi
umur 21 tahun sebab dianggap telah cukup mempunyai kemampuan melaksanakan
program pendidikan tinggi.
b. Kurikulum
Pendidikan Orang Dewasa (Adult Education)
Tujuan pendidikan orang dewasa adalah meningkatkan
pengetahuan yang telah dimilikinya dalam pendidikan lama sebelum itu,
menetralisir pengaruh-pengaruh jelek yang ada. Nilai utama pendidikan orang
dewasa secara filosofis ialah mengembangkan sikap bijaksana guna mereorganisasi
pendidikan anak-anaknya, dan membina kebudayaannya (Ibid, 67).
Kesimpulan
Aliran Perenialisme adalah merupakan aliran dalam filsafat
pendidikan yang memandang bahwa kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad
pertengahan perlu dijadikan dasar pendidikan sekarang.
Pandangan aliran ini tentang pendidikan adalah “belajar
untuk berpikir”. Oleh sebab itu, peserta didik harus dibiasakan untuk berlatih
berpikir sejak dini. Perenialisme juga memiliki formula mengenai jenjang
pendidikan beserta kurikulum, yaitu pendidikan dasar dan (sekolah) menengah,
pendidikan tinggi dan adult education.
DAFTAR PUSTAKAAbdul Khobir.
2009. Filsafat Pendidikan Islam.
Pekalongan: STAIN Press.Alwasilah, Chaedar. 2008. Filsafat: Bahasa Dan Pendidikan.
Bandung: Rosda Karya.Barnadib, Imam. 1994. Filsafat Pendidikan: Sistem dan
Metode. Yogyakarta: ANDI OFFSET.Barnadib, Imam. 1997. Filsafat Pendidikan: Sistem dan
Metode. Yogyakarta: ANDI OFFSET. Jalaluddin dan
Abdullah Idi. 2007. Filsafat Pendidikan.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.Surajiyo. 2008. Filsafat Imu dan Perkembangannya di
Indonesia: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara.Uyoh, Sadullah. 2004. Pengantar Filsafat Pendidikan.
Bandung: Al Fabeta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar