![]() |
Ibnu Rusyd - Nama lengkap Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd (1126 – 11 Desember 1198) sering dilatinkan sebagai Averroes. |
Seri Filsafat Islam
Perkembangan filsafat dalam Islam berkembang melalui
beberapa fase. Pada fase pertama yang dilakukan ialah penerjemahan
bagian-bagian yang menarik dari filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Penerjemahan
buku-buku ke bahasa Arab secara sistematis terjadi pada fase kedua dan
berkembang pada masa Khalifah Al-Ma’mun (813-833 Masehi).
Sampai pada fase selanjutnya muncullah filsuf-filsuf
seperti berikut ini :
- Al-Kindi (801-873 Masehi) dengan teori perdamaiannya antara wahyu dan akal dan antara agama dan filsafat.
- Al-Farabi (870-950 Masehi) dengan teori penciptaan alam oleh Tuhan melalui emanasi dan teori kenabiannya.
- Ibnu Sina (980-1073 Masehi) dengan teori ruh yang perlu bersatu dengan tubuh manusia untuk mencapai kesempurnaan.
- Al-Ghazali (1058-1111 Masehi) dengan kritik pedasnya terhadap kaum filsuf seperti diuraikan dalam Tahafut al-Falasifah.
- Ibnu Miskawaih (wafat 1030 Masehi) dengan filsafat akhlaknya.
- Ibnu Bajjah (wafat 1138 Masehi) dengan teorinya bahwa manusia dengan menyendiri dan meditasi dapat sampai pada kebenaran seperti dijelaskan dalam buku Tadbir al-Mutawahhid.
- Ibnu Thufail (wafat 1185 Masehi) yang menggambar dan menjelaskan teori Ibnu Bajjah dalam Hayy bin Yaqzhan.
- Ibnu Rusyd (1126 – 1198 Masehi) dengan pembelaannya terhadap kaum filsuf dengan membawa argumen-argumen Al-Qur’an seperti diuraikan dalam Tahafut al-Tahafut.
Corak Filsafat Ibnu Rusyd
Ajaran Ibnu Rusyd yang terkenal di Eropa dengan sebutan
Averroism berpangkal pada pikiran “merdeka”. Pemikiran ini ditolak keras oleh
dunia Kristen Eropa, dan telah mempengaruhi seluruh universitas Eropa untuk
berabad-abad lamanya, sehingga menimbulkan zaman Renaissance di benua Eropa.[1]
Ibnu Rusyd terkenal sebagai “Pengulas Aristoteles”
(komentator), suatu gelar yang diberikan oleh Dante (1265-1321) dalam bukunya
Divina Commedia (Komedi Ketuhanan). Gelar ini memang tepat untuknya, karena
pikiran-pikirannya mencerminkan usahanya yang keras untuk mengembalikan
pikiran-pikiran Aristoteles kepada kemurniannya yang semula, setelah bercampur
dengan unsur-unsur Platonisme yang cukup memburukkan dan yang dimasukkan oleh
pengulas-pengulas (filusuf) Iskandariah.
Selama hidupnya, Ibnu Rusyd berkeyakinan bahwa filsafat
Aristoteles jika dipahami sebaik-baiknya, maka tidak akan berlawanan dengan
pengetahuan tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia, bahkan perkembangan
kemanusiaan telah mencapai tingkat yang tertinggi pada diri Aristoteles sehingga
tidak ada orang yang melebihinya.[2] Sehingga menurut Ibnu Rusyd (karena
kekagumannya terhadap Aristoteles) menyatakan, kesulitan dalam memahami
filsafat Aristoteles yang dialami orang-orang yang hidup sesudahnya, dan dengan
kerasnya mereka memeras otak untuk menemukannya. Sedangkan bagi Aristoteles
pikiran-pikiran semacam itu dapat dicapai dengan mudahnya.[3]
Dalam mempelajari pikiran-pikiran Aristoteles, Ibnu Rusyd
menggunakan terjemahan buku-buku Aristoteles asli dan terjemahan
ulasan-ulasannya. Ia berusaha keras untuk menjelaskan pikiran-pikiran
Aristoteles yang masih gelap dan memperbandingkannya satu sama lain. Namun
demikian, Ibnu Rusyd tidak terhindar dari kesalahan-kesalahan yang pernah
dialami oleh orang-orang sebelumnya. Hal ini dapat dipahami, karena bisa saja
terjemahan-terjemahan tersebut tidak sanggup menyatakan dengan teliti terhadap
pikiran-pikiran Aristoteles yang terdapat dalam bahasa Yunani.[4]
Peranan Akal dalam Filsafatnya
Ibnu Rusyd merupakan seorang filsuf Islam yang
mementingkan akal daripada perasaan. Menurutnya semua persoalan agama harus
dipecahkan dengan kekuatan akal. Dalam hal ini termasuk ayat-ayat berkaitan
erat dengan akal. Menurut Ibnu Rusyd, logika harus dipergunakan sebagai dasar
semua penilaian terhadap kebenaran. Dalam mempelajari agama, orang harus
belajar memikirkannya secara logika.[5] Sedangkan di dalam masalah agama, Ibnu
Rusyd mengatakan bahwa pokok tujuan syariat Islam yang sebenarnya ialah
pengetahuan yang benar dan amal perbuatan yang benar.[6]
Mengenai pengetahuan, menurut Ibnu Rusyd, maksudnya untuk
mengetahui dan mengerti adanya Allah Ta’ala serta segala alam yang tercipta ini
pada hakikatnya yang sebenarnya apa maksud syariat itu, dan mengerti apa pula
sebenarnya yang dikehendaki dengan pengertian kebahagiaan di akhirat (Surga)
dan kecelakaan di akhirat (Neraka).[7] Maksud amal yang benar ialah mengerjakan
dan menjauhkan pekerjaan-pekerjaan yang akan mengakibatkan penderitaan.
Mengetahui tentang amal perbuatan seperti inilah yang dinamakan ilmu yang
praktis.[8]
Permasalahan Filsafat Ibnu Rusyd
Di dalam filsafat Ibnu Rusyd terdapat lima permasalahan
metafisika yang sangat mendasar, yaitu: pengetahuan Tuhan terhadap soal-soal
juziyat (partikel); terjadinya maujudat (alam) dan perbuatannya; keazalian dan
keabadian alam; gerak dan keazaliannya; serta akal yang universal dan satu.
Pengetahuan Tuhan
Berhubungan dengan pengetahuan Tuhan, Ibnu Rusyd
mengikuti pandangan para filsuf bahwa Tuhan hanya mengetahui keberadaannya
sendiri. Bagi filsuf, pandangan ini merupakan keniscayaan agar Tuhan tetap
terjaga keesaanNya, karena apabila Tuhan mengetahui keberagaman segala sesuatu,
berarti Tuhan juga mempunyai keberagaman dalam diriNya. Jalan pikiran ini
akhirnya meletakkan Tuhan untuk semata-mata berada dalam zatNya sendiri dan
tidak ada yang lain.[9]
Di dalam filsafat Ibnu Rusyd, dinyatakan bahwa Tuhan
tidaklah mengetahui soal-soal juziyat sebagaimana yang diungkapkan oleh
Aristoteles. Pemikiran ini didasarkan atas argumen sebagai berikut: yang
menggerakkan itu, yakni Tuhan, merupakan akal yang murni bahkan merupakan akal
yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu, pengetahuan dari akal yang tertinggi
itu haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian
antara yang mengetahui dan yang diketahui. Oleh karena itu pula, tidak mungkin
Tuhan mengetahui selain zatNya sendiri. Sebab tidak ada suatu zat lain yang
sama luhurnya dengan zat Tuhan.[10]
Sesuatu yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya
pengetahuan Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil, artinya
bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna, dan
ini tidak wajar. Oleh karena itu, sudah seharusnya Tuhan tidak mengetahui
selain zatNya sendiri.
Argumen yang diambil dari pemikiran Aristotel tersebut
disetujui oleh Ibnu Sina, meski dibantah keras oleh Al-Ghazali. Menurut Ibnu
Rusyd, bahwa mereka yang mendakwa ahli-ahli filsafat itu ialah memungkiri
pengetahuan Tuhan kepada juziyat sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh
orang-orang biasa.[11]
Amal Perbuatan
Dalam masalah amal perbuatan timbul masalah mendasar
yaitu: Bagaimanakah terjadinya alam ini dan amal perbuatannya?. Bagi golongan
agama (Teolog) jawabannya sudah cukup jelas. Mereka mengatakan bahwa semua itu
adalah ciptaan Tuhan. Semua benda atau peristiwa, baik besar ataupun kecil,
Tuhanlah yang menciptakannya dan
memeliharanya. Sebaliknya bagi golongan filsafat menjawab persoalan itu
harus ditinjau dengan akal pikiran. Di antara mereka ada yang menyimpulkan
bahwa madah (materi) itu azali, tanpa permulaan terjadinya. Perubahan materi
itu menjadi benda-benda lain yang beraneka macam terdapat di dalam kekuatan
yang ada di dalam maksud itu sendiri secara otomatis. Artinya tidak langsung
dari Tuhan.
Di antara ahli filsafat ada yang berpendapat bahwa materi
itu abadi. Ia terdiri atas bermacam-macam jauhar. Tiap-tiap jauhar mengadakan
jauhar yang baru. Materi itu terjadinya bukan dari tidak ada, melainkan dari
keadaan yang potensial (bil-quwwah).[12]
Aristoteles sendiri berpendapat bahwa jauhar (subtansi)
pertama dari materi itu menyebabkan
adanya jauhar yang kedua tanpa berhajat bantuan zat lain di luar dirinya. Ini
berarti bahwa sebab dan akibat penciptaan dan amal materi itu seterusnya
terletak pada diri materi itu sendiri.[13]
Ibnu Rusyd dapat menerima pendapat Aristoteles ini dengan
menjelaskan pula argumennya sebagai berikut: Seandainya Tuhan itu menjadikan
segala sesuatu dan peristiwa yang ada ini, maka akibatnya ide tentang sebab
tidak akan ada artinya lagi. Padahal seperti yang kita lihat sehari-hari,
apapun yang terjadi dalam ini senantiasa diliputi oleh hukum sebab dan akibat
atau yang biasa disebut hukum kausalitas. Misalnya api yang menyebabkan
terbakarnya benda yang bersentuhan dengannya, dan air yang menyebabkan basah
terhadap sesuatu yang disiram dengannya.[14]
Keazalian Alam
Dalam masalah ini timbul pertanyaan: Apakah alam ini ada
permulaan terjadinya atau tidak?. Dalam hal ini Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa
alam ini azali tanpa ada permulaan. Dengan demikian berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada dua hal
yang azali, yaitu Tuhan dan alam ini. Hanya saja bagi Ibnu Rusyd keazalian
Tuhan itu berbeda dari keazalian alam, sebab keazalian Tuhan lebih utama dari
keazalian alam.[15]
Untuk membela pendapatnya, Ibnu Rusyd mengeluarkan
argumen sebagai berikut: Seandainya alam ini tidak azali, ada permulaannya maka
ia hadith (baru), mesti ada yang menjadikannya, dan yang menjadikannya itu
harus ada pula yang menjadikannya lagi, demikianlah seterusnya tanpa ada
habis-habisnya. Padahal keadaan berantai demikian (tasalsul) dengan tidak ada
putusnya, tidak akan dapat diterima oleh akal pikiran. Jadi mustahil kalau alam
itu hadith.[16]
Oleh karena di antara Tuhan dengan alam ini ada hubungan
meskipun tidak sampai pada soal-soal rincian, maka dari itulah, Tuhan yang
azali tidak akan berhubungan kecuali dengan yang azali pula, maka seharusnya
alam ini azali meskipun keazaliannya kurang utama dari keazalian Tuhan.
Gerakan yang Azali
Gerakan adalah suatu akibat karena setiap gerakan selalu
memiliki sebab yang mendahuluinya. Apabila kita cari sebab itu, maka tidak akan
kita temui sebab penggeraknya pula, dan begitulah seterusnya tidak mungkin
berhenti. Dengan demikian, kewajiban kita menganggap bahwa sebab yang paling
terdahulu atau sebab yang pertama adalah sesuatu yang tidak bergerak. Gerakan
itu dianggap tidak berawal dan tidak berakhir, azali dan abadi. Adapun sebab
pertama (prima kausa) atau penggerak utama itulah yang disebut dengan
Tuhan.[17]
Kemudian Ibnu Rusyd berpendapat bahwa walaupun Tuhan
adalah sebab atau penggerak yang pertama, Dia hanyalah menciptakan gerakan pada
akal pertama saja, sedangkan gerakan-gerakan selanjutnya (kejadian-kejadian di
dunia ini) disebabkan oleh akal-akal selanjutnya.[18] Oleh karena itu, menurut
Ibnu Rusyd, tidak dapat dikatakan adanya pimpinan langsung dari Tuhan terhadap
peristiwa-peristiwa di dunia.
Akal yang Universal
Menurut Ibnu Rusyd akal itu (seperti yang dimaksud oleh
Al-Farabi dan Ibnu Sina) adalah suatu satu universal. Maksudnya bukan saja
“akal yang aktif” (active intellect) adalah esa dan universal, tetapi juga “akal
kemungkinan”, yakni akal reseptif adalah esa dan universal, sama dan satu bagi
semua orang.[19]
Hai ini berarti bahwa segala akal dianggap sebagai
monopsikisme.
Menurut Ibnu Rusyd “akal kemungkinan” barulah merupakan
individu tertentu ketika dia berkaitan dengan suatu bentuk materi atau tubuh
orang perseorangan. Dengan kata lain, akal kepunyaan orang perseorangan tidak
memiliki keabadian, tetapi yang kekal dan abadi itu adalah akal universal,
yakni asal sumber dan tempat kembalinya akal kemungkinan manusia
individual.[20]
Perlu dijelaskan, bahwa pengakuan Ibnu Rusyd tentang akal
yang bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa)
manusia.[21] Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani
yang membedakan jiwa manusia atau mengutamakannya lebih dari jiwa hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksud dengan mono-psikisme. Maksud Ibnu Rusyd,
roh universal itu adalah satu dan abadi.[22]
Kritik al-Ghazali
Al-Ghazali berpendapat bahwa pemikiran para filusuf
tentang metafisika bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu, ia mengecam
secara langsung dua tokoh Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibnu Rusyd),
yaitu dalam masalah alam tidak bermula (qadim), Tuhan tidak mengetahui
perincian dalam dan pembangkitan jasmani tidak ada.[23]
Alam Qadim
Dikalangan pemikir Yunani seperti Aristoteles, mengatakan
bahwa alam ini qadim dalam arti tidak ada awalnya.[24] Dan faham ini juga
dianut para filusuf muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Rusyd, mereka membuat
beberapa alasan yaitu:
Mustahil secara mutlak yang baharu muncul dari yang
qadim.
Tuhan lebih dahulu daripada alam.
Tuhan lebih dahulu daripada alam bukan dari segi zaman
melainkan dari segi zat (tingkatan), seperti terdahulunya bilangan satu dari
dua, atau dari segi kausalitasnya, seperti dahulunya gerakan seseorang atas
gerakan bayangannya, sedang gerakan tersebut sebenarnya sama-sama mulai dan
sama-sama berhenti, artinya sama dari segi zaman.
Berarti Tuhan lebih dahulu daripada alam dan zaman, dari
segi zaman, bukan dari segi zat, maka artinya sebelum wujud alam dan zaman
tersebut, sudah terdapat suatu zaman dimana (tidak ada) murni terdapat di
dalamnya sebagai hal yang mendahului wujud alam. Tiap-tiap yang baru didahului
oleh bendanya dapat dikatakan bahwa benda itu baru. Yang baru hanyalah form,
sifat-sifat dan peristiwa-peristiwa yang mendatangkan kepada benda.[25]
Al-Ghazali menjawab alasan-alasan para filusuf tersebut
dengan membedakan antara iradat (kehendak ) yang qadim dengan apa yang
dikehendakinya. Kehendak Allah yang azali adalah mutlak, artinya bisa memilih
sewaktu-waktu tertentu, bukan waktu lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya karena
sebab tersebut adalah kehendakNya sendiri. Kalau masih ditanya sebabnya, maka
artinya kehendak Tuhan itu terbatas tidak lagi bebas.[26]
Menurut Al-Ghazali, terdahulunya tuhan dari alam dan
zaman adalah bahwa tuhan sudah ada sendirian pada saat alam belum ada, kemudian
Dia menciptakan alam, hingga pada saat itu tuhan ada beserta alam. Pada keadaan
pertama adanya zat Tuhan yang sendirian dan pada keadaan yang kedua adanya zat
Tuhan dan alam, sedangkan alam hanyalah gerakan alam yang berarti sebelum ada
benda (alam) tentu saja belum ada alam.[27]
Selanjutnya menurut Al-Ghazali, alam itu bukanlah suatu
sistem yang berdiri sendiri, bebas dari lainnya, bergerak, berubah, tumbuh dan
berkembang dengan dirinya, dengan hukum-hukumnya. Tetapi wujud, sistem dan
hukum-hukumnya bertopang pada Allah. Dia lah yang menciptakan, menahan,
mengendalikan, menghidupkan dan mematikan segala sesuatu.[28]
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa menurut Al-Ghazali
bahwa alam qadim dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima dalam teologi
Islam. Sebab, menurut teologi Islam Tuhan adalah pencipta, yang dimaksud dengan
pencipta adalah yang menciptakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilo).
Kalau alam dikatakan qadim, berarti alam tidak diciptakan, dengan demikian
Tuhan bukanlah pencipta, sedangkan Al-Qur’an menyebutkan bahwa Tuhan adalah
pencipta segala sesuatu. Menurut Al-Ghazali alam haruslah hadith (bermula).
Jika alam qadim berarti ada banyak yang qadim, hal ini mengindikasikan
kesyirikan atau justru tidak perlu adanya Tuhan sang pencipta.
Tuhan tidak Mengatahui Juz’iyyah
Para filusuf berpendapat bahwa tuhan tidak mengatahui
hal-hal kecil kecuali yang dengan cara kulliy. Dengan alasan yang baru ini
dengan segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu tergantung
kepada yang diketahui atau dengan kata lain perubahan perkara yang diketahui
menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak
tahu, atau sebaliknya berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan
pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi.[29]
Misalnya pada peristiwa gerhana matahari, sedangkan
sebelumnya tidak gerhana dan gerhana akan hilang. Sebelumnya kita mengetahui
gerhana itu tidak ada dan ketika terjadi gerhana pengetahuan kita berubah jadi
mengetahui adanya gerhana, lalu ketika gerhana berlalu, pengetahuan kita
berubah jadi mengetahui tidak ada gerhana lagi. Dari contoh ini bisa
menunjukkan pengetahuan yang satu bisa menggantikan pengetahuan yang lain.
Tuhan mengetahui gerhana dengan segala ifat-sifatNya,
pengetahuan yang azali, abadi dan tidak berubah-ubah seperti hukum alam yang
menguasai terjadinya gerhana. Jadi ilmu Tuhan mengetahui sejak azali karena
sebab-sebab yang ditimbulkan oleh sebab-sebab lain yang sifatnya juz’iy.
Menurut Al-Ghazali, ilmu adalah suatu tambahan atau
pertalian dengan zat, artinya lain dari zat. Kalau terjadi perubahan pada tambahan
tersebut, maka zat Tuhan tetap dalam keadaan-Nya yang biasa, sebagaimana halnya
kalau ada yang berdiri di sebelah kanan kita kemudian ia berpindah ke sebelah
kiri kita, maka sebenarnya yang berubah adalah kita bukan Dia.[30]
Argumentasi Al-Ghazali ini juga berdasarkan ayat-ayat
Al-Qur’an yang memberi petunjuk bahwa Tuhan mengetahui yang juz’iyah seperti
firmanNya dalam Surah Al-Hujurat ayat 16:
قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ
Yang artinya: Katakanlah, “Apakah kamu akan
memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang
di Langit dan apa yang di Bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?.”
Dan dalam Surah Yunus ayat 61:
وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ
ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَلَا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرَ
إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Yang artinya: “Tidak luput dari pengetahuan Tuhan biarpun
sebesar Zarrah di bumi ataupun di Langit, tidak ada yang lebih kecil dan tidak
pula yang besar dari itu.”
Tidak Ada Kebangkitan Jasmani
Para filusuf
berkeyakinan bahwa alam akhirat adalah alam keruhanian, bukan materi.
Karena perkara keruhanian lebih tinggi nilainya daripada alam materi. Karena itu
pikiran tidaklah mengharuskan adanya kebangkitan jasmani, kelezatan atau
siksaan jasmani, surga atau neraka serta segala isinya.[31]
Pada intinya menurut mereka mustahil manusia dibangkitkan
kembali dengan jasad yang semula, sebab jasad tersebut telah hancur dan terurai
menjadi bahan makanan dan menjadi bagian dari tubuh makhluk lain seperti hewan,
tumbuhan atau bahkan manusia lainnya.
Al-Ghazali berpendapat bahwa jika manusia tetap wujud
sesudah mati, karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Pendirian
tersebut tidak berlawanan dengan shar’, bahkan ditunjukkan seperti disebutkan
dalam Al-Qur’an dalam Surah Yasin ayat 78 dan 79:
قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
(78) قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ
(79)
Yang artinya: “ia berkata,“siapakah yang dapat
menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?, katakanlah, “ia akan
dihidupkan oleh Allah yang menciptakannya pertama kali.”[32]
Pembelaan Ibnu Rusyd
Para filusuf seperti Ibnu Rusyd menolak kritik tersebut.
Pembelaan tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
Tentang Qadimnya Alam
Ibnu Rusyd, dalam kedudukannya sebagai filusuf yang
bertujuan mencari kebenaran, lewat penafsirannya terhadap Al-Qur’an secara
rasional telah menawarkan keselarasan antara agama dan filsafat serta tentang
ketidak bermulaan alam ini. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pendapat kaum teolog
tentang dijadikannya alam dari tiada itu tidak berdasar pada argumen syariat
yang kuat, karena tidak ada ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan pada mulanya
berwujud sendiri, lalu ia menjadikan alam: pendapat bahwa pada mulanya yang ada
hanya wujud Tuhan (seperti pendapat Al-Ghazali), menurut Ibnu Rusyd hanyalah
merupakan interprestasi kaum teolog semata, karena Al-Quran telah mengatakan
bahwa alam ini bukan dijadikan dari tiada tapi dari sesuatu yang ada,[33]
seperti yang disebutkan dalam surah al-Hud ayat 7:
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
Yang artinya: “Dan Ialah yang menciptakan langit dan bumi
dalam enam hari dan tahtanya pada waktu itu berada di atas air”.
Dapat diambil kesimpulan sebelum adanya wujud Langit dan
Bumi telah ada wujud lain, yaitu air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan
Tuhan. Tegasnya sebelum langit dan bumi diciptakan Tuhan telah ada air dan
tahta. Dan dari surah Al-Fushilat ayat 11 yang artinya: “kemudian ia pun naik
ke langit sewaktu ia masih merupakan uap”. Dapat dipahami bahwa sebelum alam
ini diciptakan telah ada benda-benda lain yaitu air dan uap. Menurut Ibnu
Rusyd, benda-benda itulah yang merupakan cikal bakal terjadinya alam. Alam
dalam arti umumnya adalah kekal dari sejak zaman lampau atau qadim.[34]
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa benar ada penciptaan oleh
Tuhan, tetapi penciptaan yang berlangsung terus menerus setiap saat dalam
bentuk perubahan alam yang berkelanjutan. Semua bagian alam berubah dalam
bentuk baru, menggantikan bentuk lama. Pencipta aktif yang terus menerus inilah
yang harus disebut pencipta.[35]
Tentang Pengetahuan Tuhan
Ibnu Rusyd menyatakan bahwa Al-Ghazali telah memahami
pendapat para filusuf bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di
alam ini. Para filusuf , kata Ibnu Rusyd, tidak pernah menyatakan demikian,
yang dikatakan oleh para filusuf terutama Ibnu Sina ialah bahwa cara Tuhan
mengetahui hal-hal yang bersifat khusus ini melalui ilmuNya yang bersifat
kully.[36]
Dan dengan mengetahui sebab-sebabnya saja Tuhan dapat
mengetahui segala akibat yang akan timbul darinya secara tidak langsung. Dengan
kata lain segala peristiwa yang terjadi di alam ini telah diketahui oleh Tuhan
sejak azali, yakni sebelum hal tersebut terwujud dalam bentuknya yang konkrit.
Karena ilmuNya terhadap sesuatu itu adalah menjadi sebab bagi terjadinya hal
tersebut. Jadi kalau Tuhan mengetahui pula hal-hal yang kecil (juz’iyat), maka
berarti pengetahuan Tuhan disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna, dan hal
ini tidak wajar bagi Tuhan.[37]
Menurut Ibnu Rusyd, untuk mengetahui sesuatu Tuhan tidak
membutuhkan alat indra sebagai mana manusia, jika Al-Quran menggambarkan Tuhan
mendengarkan dan melihat hal itu tidak dapat diartikan secara fisik, dan hal
itu dimaksudkan untuk menginginkan manusia agar mengetahui bahwa Tuhan tidaklah
dapat dihalang-halangi oleh jenis pengetahuan macam apapun. Karena Dia melihat
dan mendengar segala secara dengan caranya sendiri. Jadi Tuhan tidak mengetahui
segala sesuatu secara juz’iy sebagaimana halnya manusia.[38]
Tentang Kebangkitan Jasmani
Dalam memnantah gugatan Al-Ghazali tentang perkara ini,
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa para filusuf tidak mengingkari adanya kebangkitan,
hanya saja ada yang berpendapat bahwa kebangkitan tersebut secara ruhaniah
bukan materi. Meskipun demikian Ibnu Rusyd tidak mau menafikan kemungkina
adanya kebangkitan jasmani bersama rohani. Tetapi kalaupun ada kebangkiatan
jasmani, namun bukanlah jasad yang ada didunia, sebab jasad tersebut telah
hancur dan lenyap disebabkan kematian, sedangkan yang telah hancur mustahil
dapat kembali seperti semula.[39]
Di dalam Surga terdapat sesuatu yang tidak pernah
terlihat oleh mata dan tidak pernah terdengar oleh Telinga, mengindikasikan
bahwa di dalam Surga nanti manusia tidak berbentuk wujud jasad. Oleh karena itu
ayat Al-Quran mengenai hal ini harus difahami secara metaforis.[40]
Lebih lanjut Ibnu Rusyd menganalogikan antar tidur dan
kematian. Menurutnya, bahwa perbandingan antara tidur dan kematian itu
merupakan bukti yang terang untuk menyatakan bahwa jiwa itu hidup terus, karena
aktivitas jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara tidak bekerjanya
organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa itu tidaklah
berhenti. Oleh karena itu sudah semestinya keadaan jiwa pada saat kematian itu
sama dengan pada saat tidur.[41]
Daftar Pustaka
Al-‘Iraqi, ‘Athif, Al-Falsafah Al-‘Arabiyah wa Atthariq
ila Al-Mustaqbal Ru’yah ‘Aqliyyah Naqdiyyah, Cet. VI, (Al-Qahirah: Dar
Arrasyad, 2009)
Al-Fakhuri, Hana dan Al-Jarr, Kholil, Tarikh Al-Falsafah
Al-‘Arabiyyah, Cet. III, (Bairut: Dar Al-Jail, 1993)
Al-Ghazali, Al-Munqidh min Al-Dalal, (Kairo: Al-Matba’ah
Al-Islamiyah, 1977)
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Cet. VI, (Kairo: Dar
Al-Ma’arif, 1972)
An-Nasyr, Mushthafa, Nazariyyatul ‘Ilm Al-Aristiyyah,
Cet. II, (Al-Qohirah: Dar Al-Ma’rifah, 1995)
Arrazi, Fakhruddin, Al-Munazarat, Cet. I, (Bairut:
Muassasah Izzuddin, 1912)
Asy’ari, Abu Hasan, Ibnu Rushd, (Jakarta : Dian Rakyat,
2008)
Corbin, Hendry, Tarikh Al-Falsafah Al-Islamiyyah, Cet.
II, (Bairut: ‘Uwaidat li An-Nasyr wa At-Thob’i, 1998)
Dunya, Sulaiman, As-Shaikh Muhammad Abduh, baina
Al-Falasifah wa Al-Kalamiyyin, Cet. I, (Bairut: Dar Al-Ihya’, 1958)
Dunya, Sulaiman, Yusuf Musa, bain Ad-Din wa Al-Falsafah,
(Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1971)
Ibnu Rusyd, Abul Walid Muhammad, Tahafut At-Tahafut, Cet.
I, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1964)
Iqbal, Muhammad, Ibnu Rusyd dan Averroisme, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2004)
Marhaban, Muhammad Abdurrahman, Al-Mausu’ah Al-Falsafiyyah
As-Shamilah min Al-Falsafah Al-Yunaniyyah ila Al-Falsafah Al-Islamiyyah,
(Bairut: ‘Uwaidat Linnasyri wat Thob’i, 2007)
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,
(Jakarta: UI-Press, 1979), Jil. II
Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1991)
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004)
[1] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,
2004), 94-95.
[2] Fakhruddin Arrazi, Al-Munazharat, Cet. I, (Bairut:
Muassasah Izzuddin, 1912), 86
[3] Muhammad Abdurrahman Marhaban, Al-Mausu’ah
Al-Falsafiyah As-Syamilah min Al-Falsafah Al-Yunaniyah ila Al-Falsafah
Al-Islamiyah, (Bairut: ‘Uwaidat Linnasyri wat Thob’i, 2007), 733
[4] Ibid, 96-97
[5] Muhammad Abdurrahman Marhaban, Al-Mausu’ah Al-Falsafiyah…,
743
[6] Ibid, 744
[7] Fakhruddin Arrazi, Al-Munazaharat, 86
[8] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), 199.
[9] Abu Hasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, (Jakarta : Dian
Rakyat, 2008), 12-13.
[10] Hendry Corbin, Tarikh Al-Falsafah Al-Islamiyah, Cet.
II, (Bairut: ‘Uwaidat li An-Nasyr wa At-Thob’i, 1998), 368
[11] Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2004), 21-22.
[12] ‘Athif Al-‘Iraqi, Al-Falsafah Al-‘Arabiyah wa
Atthariq ila Al-Mustaqbal Ru’yah ‘Aqliyah Naqdiyah, Cet. VI, (Al-Qahirah: Dar
Arrasyad, 2009), 309
[13] Mushthafa An-Nasyr, Nazhariyatul ‘Ilm Al-Aristhiyah,
Cet. II, (Al-Qohirah: Dar Al-Ma’rifah, 1995), 86
[14] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam,
204
[15] Muhammad Abdurrahman Marhaban, Al-Mausu’ah
Al-Falsafiyah…, 754
[16] Ibid
[17] Ibid, 755-756
[18] Sulaiman Dunya, As-Syaikh Muhammad Abduh, Baina
Al-Falasifah wa Al-Kalamiyyin, Cet. I, (Bairut: Dar Al-Ihya’, 1958), 83
[19] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam,
205
[20] Ibid
[21] Hana Al-Fakhuri dan Kholil Al-Jarr, Tarikh
Al-Falsafah Al-‘Arabiyah, Cet. III, (Bairut: Dar Al-Jail, 1993), 430
[22] Ibid
[23] Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, (Kairo:
Al-Matba’ah Al-Islamiyah, 1977), 26
[24] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1979), Jil. II, 65
[25] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Cet. VI, (Kairo:
Dar Al-Ma’arif, 1972), 88
[26] Ibid, 96
[27] Ibid, 110
[28] Ibid
[29] Sulaiman Dunya, As-Syaikh Muhammad Abduh.., 41
[30] Hana Al-Fakhuri dan Kholil Al-Jarr, Tarikh
Al-Falsafah Al-‘Arabiyah…, 262
[31] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah…, 213
[32] Hana Al-Fakhuri dan Kholil Al-Jarr, Tarikh
Al-Falsafah Al-‘Arabiyah.
[33] Abul Walid Muhammad Ibnu Rusyd, Tahafut At-Tahafut,
Cet. I, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1964), 250
[34] Ibid, 280
[35] Ibid, 288
[36] Ibid, 160
[37] Sulaiman Dunya, As-Syaikh Muhammad Abduh. Op. Cit.
[38] Abul Walid Muhammad Ibnu Rusyd, Tahafut At-Tahafut…,
643
[39] Sulaiman Dunya, Yusuf Musa, bain Ad-Din wa
Al-Falsafah, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1971), 223
[40] Abul Walid Muhammad Ibnu Rusyd, Tahafut At-Tahafut…,
864
[41] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar