Teori Penciptaan menurut Ibnu Rusyd - Seri Filsafat - Spiritual Society of Indonesia

Breaking

Post Top Ad

SPIRITUAL SOCIETY

Post Top Ad

SPIRITUAL SOCIETY

Jumat, 23 November 2018

Teori Penciptaan menurut Ibnu Rusyd - Seri Filsafat

Ibnu Rusyd - Nama lengkap Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd‎ (1126 – 11 Desember 1198)
 sering dilatinkan sebagai Averroes.

Seri Filsafat Islam

Perkembangan filsafat dalam Islam berkembang melalui beberapa fase. Pada fase pertama yang dilakukan ialah penerjemahan bagian-bagian yang menarik dari filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Penerjemahan buku-buku ke bahasa Arab secara sistematis terjadi pada fase kedua dan berkembang pada masa Khalifah Al-Ma’mun (813-833 Masehi).
Sampai pada fase selanjutnya muncullah filsuf-filsuf seperti berikut ini :

  1. Al-Kindi (801-873 Masehi) dengan teori perdamaiannya antara wahyu dan akal dan antara agama dan filsafat.
  2. Al-Farabi (870-950 Masehi) dengan teori penciptaan alam oleh Tuhan melalui emanasi dan teori kenabiannya.
  3. Ibnu Sina (980-1073 Masehi) dengan teori ruh yang perlu bersatu dengan tubuh manusia untuk mencapai kesempurnaan.
  4. Al-Ghazali (1058-1111 Masehi) dengan kritik pedasnya terhadap kaum filsuf seperti diuraikan dalam Tahafut al-Falasifah.
  5. Ibnu Miskawaih (wafat 1030 Masehi) dengan filsafat akhlaknya.
  6. Ibnu Bajjah (wafat 1138 Masehi) dengan teorinya bahwa manusia dengan menyendiri dan meditasi dapat sampai pada kebenaran seperti dijelaskan dalam buku Tadbir al-Mutawahhid.
  7. Ibnu Thufail (wafat 1185 Masehi) yang menggambar dan menjelaskan teori Ibnu Bajjah dalam Hayy bin Yaqzhan.
  8. Ibnu Rusyd (1126 – 1198 Masehi) dengan pembelaannya terhadap kaum filsuf dengan membawa argumen-argumen Al-Qur’an seperti diuraikan dalam Tahafut al-Tahafut.


Corak Filsafat Ibnu Rusyd
Ajaran Ibnu Rusyd yang terkenal di Eropa dengan sebutan Averroism berpangkal pada pikiran “merdeka”. Pemikiran ini ditolak keras oleh dunia Kristen Eropa, dan telah mempengaruhi seluruh universitas Eropa untuk berabad-abad lamanya, sehingga menimbulkan zaman Renaissance di benua Eropa.[1]

Ibnu Rusyd terkenal sebagai “Pengulas Aristoteles” (komentator), suatu gelar yang diberikan oleh Dante (1265-1321) dalam bukunya Divina Commedia (Komedi Ketuhanan). Gelar ini memang tepat untuknya, karena pikiran-pikirannya mencerminkan usahanya yang keras untuk mengembalikan pikiran-pikiran Aristoteles kepada kemurniannya yang semula, setelah bercampur dengan unsur-unsur Platonisme yang cukup memburukkan dan yang dimasukkan oleh pengulas-pengulas (filusuf) Iskandariah.

Selama hidupnya, Ibnu Rusyd berkeyakinan bahwa filsafat Aristoteles jika dipahami sebaik-baiknya, maka tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia, bahkan perkembangan kemanusiaan telah mencapai tingkat yang tertinggi pada diri Aristoteles sehingga tidak ada orang yang melebihinya.[2] Sehingga menurut Ibnu Rusyd (karena kekagumannya terhadap Aristoteles) menyatakan, kesulitan dalam memahami filsafat Aristoteles yang dialami orang-orang yang hidup sesudahnya, dan dengan kerasnya mereka memeras otak untuk menemukannya. Sedangkan bagi Aristoteles pikiran-pikiran semacam itu dapat dicapai dengan mudahnya.[3]

Dalam mempelajari pikiran-pikiran Aristoteles, Ibnu Rusyd menggunakan terjemahan buku-buku Aristoteles asli dan terjemahan ulasan-ulasannya. Ia berusaha keras untuk menjelaskan pikiran-pikiran Aristoteles yang masih gelap dan memperbandingkannya satu sama lain. Namun demikian, Ibnu Rusyd tidak terhindar dari kesalahan-kesalahan yang pernah dialami oleh orang-orang sebelumnya. Hal ini dapat dipahami, karena bisa saja terjemahan-terjemahan tersebut tidak sanggup menyatakan dengan teliti terhadap pikiran-pikiran Aristoteles yang terdapat dalam bahasa Yunani.[4]

Peranan Akal dalam Filsafatnya
Ibnu Rusyd merupakan seorang filsuf Islam yang mementingkan akal daripada perasaan. Menurutnya semua persoalan agama harus dipecahkan dengan kekuatan akal. Dalam hal ini termasuk ayat-ayat berkaitan erat dengan akal. Menurut Ibnu Rusyd, logika harus dipergunakan sebagai dasar semua penilaian terhadap kebenaran. Dalam mempelajari agama, orang harus belajar memikirkannya secara logika.[5] Sedangkan di dalam masalah agama, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa pokok tujuan syariat Islam yang sebenarnya ialah pengetahuan yang benar dan amal perbuatan yang benar.[6]

Mengenai pengetahuan, menurut Ibnu Rusyd, maksudnya untuk mengetahui dan mengerti adanya Allah Ta’ala serta segala alam yang tercipta ini pada hakikatnya yang sebenarnya apa maksud syariat itu, dan mengerti apa pula sebenarnya yang dikehendaki dengan pengertian kebahagiaan di akhirat (Surga) dan kecelakaan di akhirat (Neraka).[7] Maksud amal yang benar ialah mengerjakan dan menjauhkan pekerjaan-pekerjaan yang akan mengakibatkan penderitaan. Mengetahui tentang amal perbuatan seperti inilah yang dinamakan ilmu yang praktis.[8]

Permasalahan Filsafat Ibnu Rusyd
Di dalam filsafat Ibnu Rusyd terdapat lima permasalahan metafisika yang sangat mendasar, yaitu: pengetahuan Tuhan terhadap soal-soal juziyat (partikel); terjadinya maujudat (alam) dan perbuatannya; keazalian dan keabadian alam; gerak dan keazaliannya; serta akal yang universal dan satu.

Pengetahuan Tuhan
Berhubungan dengan pengetahuan Tuhan, Ibnu Rusyd mengikuti pandangan para filsuf bahwa Tuhan hanya mengetahui keberadaannya sendiri. Bagi filsuf, pandangan ini merupakan keniscayaan agar Tuhan tetap terjaga keesaanNya, karena apabila Tuhan mengetahui keberagaman segala sesuatu, berarti Tuhan juga mempunyai keberagaman dalam diriNya. Jalan pikiran ini akhirnya meletakkan Tuhan untuk semata-mata berada dalam zatNya sendiri dan tidak ada yang lain.[9]

Di dalam filsafat Ibnu Rusyd, dinyatakan bahwa Tuhan tidaklah mengetahui soal-soal juziyat sebagaimana yang diungkapkan oleh Aristoteles. Pemikiran ini didasarkan atas argumen sebagai berikut: yang menggerakkan itu, yakni Tuhan, merupakan akal yang murni bahkan merupakan akal yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu, pengetahuan dari akal yang tertinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian antara yang mengetahui dan yang diketahui. Oleh karena itu pula, tidak mungkin Tuhan mengetahui selain zatNya sendiri. Sebab tidak ada suatu zat lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan.[10]

Sesuatu yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil, artinya bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna, dan ini tidak wajar. Oleh karena itu, sudah seharusnya Tuhan tidak mengetahui selain zatNya sendiri.

Argumen yang diambil dari pemikiran Aristotel tersebut disetujui oleh Ibnu Sina, meski dibantah keras oleh Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd, bahwa mereka yang mendakwa ahli-ahli filsafat itu ialah memungkiri pengetahuan Tuhan kepada juziyat sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang biasa.[11]

Amal Perbuatan
Dalam masalah amal perbuatan timbul masalah mendasar yaitu: Bagaimanakah terjadinya alam ini dan amal perbuatannya?. Bagi golongan agama (Teolog) jawabannya sudah cukup jelas. Mereka mengatakan bahwa semua itu adalah ciptaan Tuhan. Semua benda atau peristiwa, baik besar ataupun kecil, Tuhanlah yang menciptakannya dan  memeliharanya. Sebaliknya bagi golongan filsafat menjawab persoalan itu harus ditinjau dengan akal pikiran. Di antara mereka ada yang menyimpulkan bahwa madah (materi) itu azali, tanpa permulaan terjadinya. Perubahan materi itu menjadi benda-benda lain yang beraneka macam terdapat di dalam kekuatan yang ada di dalam maksud itu sendiri secara otomatis. Artinya tidak langsung dari Tuhan.

Di antara ahli filsafat ada yang berpendapat bahwa materi itu abadi. Ia terdiri atas bermacam-macam jauhar. Tiap-tiap jauhar mengadakan jauhar yang baru. Materi itu terjadinya bukan dari tidak ada, melainkan dari keadaan yang potensial (bil-quwwah).[12]

Aristoteles sendiri berpendapat bahwa jauhar (subtansi) pertama dari materi itu  menyebabkan adanya jauhar yang kedua tanpa berhajat bantuan zat lain di luar dirinya. Ini berarti bahwa sebab dan akibat penciptaan dan amal materi itu seterusnya terletak pada diri materi itu sendiri.[13]

Ibnu Rusyd dapat menerima pendapat Aristoteles ini dengan menjelaskan pula argumennya sebagai berikut: Seandainya Tuhan itu menjadikan segala sesuatu dan peristiwa yang ada ini, maka akibatnya ide tentang sebab tidak akan ada artinya lagi. Padahal seperti yang kita lihat sehari-hari, apapun yang terjadi dalam ini senantiasa diliputi oleh hukum sebab dan akibat atau yang biasa disebut hukum kausalitas. Misalnya api yang menyebabkan terbakarnya benda yang bersentuhan dengannya, dan air yang menyebabkan basah terhadap sesuatu yang disiram dengannya.[14]

Keazalian Alam
Dalam masalah ini timbul pertanyaan: Apakah alam ini ada permulaan terjadinya atau tidak?. Dalam hal ini Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa alam ini azali tanpa ada permulaan. Dengan demikian  berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada dua hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam ini. Hanya saja bagi Ibnu Rusyd keazalian Tuhan itu berbeda dari keazalian alam, sebab keazalian Tuhan lebih utama dari keazalian alam.[15]

Untuk membela pendapatnya, Ibnu Rusyd mengeluarkan argumen sebagai berikut: Seandainya alam ini tidak azali, ada permulaannya maka ia hadith (baru), mesti ada yang menjadikannya, dan yang menjadikannya itu harus ada pula yang menjadikannya lagi, demikianlah seterusnya tanpa ada habis-habisnya. Padahal keadaan berantai demikian (tasalsul) dengan tidak ada putusnya, tidak akan dapat diterima oleh akal pikiran. Jadi mustahil kalau alam itu hadith.[16]

Oleh karena di antara Tuhan dengan alam ini ada hubungan meskipun tidak sampai pada soal-soal rincian, maka dari itulah, Tuhan yang azali tidak akan berhubungan kecuali dengan yang azali pula, maka seharusnya alam ini azali meskipun keazaliannya kurang utama dari keazalian Tuhan.

Gerakan yang Azali
Gerakan adalah suatu akibat karena setiap gerakan selalu memiliki sebab yang mendahuluinya. Apabila kita cari sebab itu, maka tidak akan kita temui sebab penggeraknya pula, dan begitulah seterusnya tidak mungkin berhenti. Dengan demikian, kewajiban kita menganggap bahwa sebab yang paling terdahulu atau sebab yang pertama adalah sesuatu yang tidak bergerak. Gerakan itu dianggap tidak berawal dan tidak berakhir, azali dan abadi. Adapun sebab pertama (prima kausa) atau penggerak utama itulah yang disebut dengan Tuhan.[17]

Kemudian Ibnu Rusyd berpendapat bahwa walaupun Tuhan adalah sebab atau penggerak yang pertama, Dia hanyalah menciptakan gerakan pada akal pertama saja, sedangkan gerakan-gerakan selanjutnya (kejadian-kejadian di dunia ini) disebabkan oleh akal-akal selanjutnya.[18] Oleh karena itu, menurut Ibnu Rusyd, tidak dapat dikatakan adanya pimpinan langsung dari Tuhan terhadap peristiwa-peristiwa di dunia.

Akal yang Universal
Menurut Ibnu Rusyd akal itu (seperti yang dimaksud oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina) adalah suatu satu universal. Maksudnya bukan saja “akal yang aktif” (active intellect) adalah esa dan universal, tetapi juga “akal kemungkinan”, yakni akal reseptif adalah esa dan universal, sama dan satu bagi semua orang.[19]
Hai ini berarti bahwa segala akal dianggap sebagai monopsikisme.

Menurut Ibnu Rusyd “akal kemungkinan” barulah merupakan individu tertentu ketika dia berkaitan dengan suatu bentuk materi atau tubuh orang perseorangan. Dengan kata lain, akal kepunyaan orang perseorangan tidak memiliki keabadian, tetapi yang kekal dan abadi itu adalah akal universal, yakni asal sumber dan tempat kembalinya akal kemungkinan manusia individual.[20]

Perlu dijelaskan, bahwa pengakuan Ibnu Rusyd tentang akal yang bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia.[21] Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani yang membedakan jiwa manusia atau mengutamakannya lebih dari jiwa hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksud dengan mono-psikisme. Maksud Ibnu Rusyd, roh universal itu adalah satu dan abadi.[22]

Kritik al-Ghazali
Al-Ghazali berpendapat bahwa pemikiran para filusuf tentang metafisika bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu, ia mengecam secara langsung dua tokoh Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibnu Rusyd), yaitu dalam masalah alam tidak bermula (qadim), Tuhan tidak mengetahui perincian dalam dan pembangkitan jasmani tidak ada.[23]

Alam Qadim
Dikalangan pemikir Yunani seperti Aristoteles, mengatakan bahwa alam ini qadim dalam arti tidak ada awalnya.[24] Dan faham ini juga dianut para filusuf muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Rusyd, mereka membuat beberapa alasan yaitu:

Mustahil secara mutlak yang baharu muncul dari yang qadim.

Tuhan lebih dahulu daripada alam.
Tuhan lebih dahulu daripada alam bukan dari segi zaman melainkan dari segi zat (tingkatan), seperti terdahulunya bilangan satu dari dua, atau dari segi kausalitasnya, seperti dahulunya gerakan seseorang atas gerakan bayangannya, sedang gerakan tersebut sebenarnya sama-sama mulai dan sama-sama berhenti, artinya sama dari segi zaman.

Berarti Tuhan lebih dahulu daripada alam dan zaman, dari segi zaman, bukan dari segi zat, maka artinya sebelum wujud alam dan zaman tersebut, sudah terdapat suatu zaman dimana (tidak ada) murni terdapat di dalamnya sebagai hal yang mendahului wujud alam. Tiap-tiap yang baru didahului oleh bendanya dapat dikatakan bahwa benda itu baru. Yang baru hanyalah form, sifat-sifat dan peristiwa-peristiwa yang mendatangkan kepada benda.[25]

Al-Ghazali menjawab alasan-alasan para filusuf tersebut dengan membedakan antara iradat (kehendak ) yang qadim dengan apa yang dikehendakinya. Kehendak Allah yang azali adalah mutlak, artinya bisa memilih sewaktu-waktu tertentu, bukan waktu lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya karena sebab tersebut adalah kehendakNya sendiri. Kalau masih ditanya sebabnya, maka artinya kehendak Tuhan itu terbatas tidak lagi bebas.[26]

Menurut Al-Ghazali, terdahulunya tuhan dari alam dan zaman adalah bahwa tuhan sudah ada sendirian pada saat alam belum ada, kemudian Dia menciptakan alam, hingga pada saat itu tuhan ada beserta alam. Pada keadaan pertama adanya zat Tuhan yang sendirian dan pada keadaan yang kedua adanya zat Tuhan dan alam, sedangkan alam hanyalah gerakan alam yang berarti sebelum ada benda (alam) tentu saja belum ada alam.[27]

Selanjutnya menurut Al-Ghazali, alam itu bukanlah suatu sistem yang berdiri sendiri, bebas dari lainnya, bergerak, berubah, tumbuh dan berkembang dengan dirinya, dengan hukum-hukumnya. Tetapi wujud, sistem dan hukum-hukumnya bertopang pada Allah. Dia lah yang menciptakan, menahan, mengendalikan, menghidupkan dan mematikan segala sesuatu.[28]

Dengan demikian dapat dipahami, bahwa menurut Al-Ghazali bahwa alam qadim dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima dalam teologi Islam. Sebab, menurut teologi Islam Tuhan adalah pencipta, yang dimaksud dengan pencipta adalah yang menciptakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilo). Kalau alam dikatakan qadim, berarti alam tidak diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta, sedangkan Al-Qur’an menyebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu. Menurut Al-Ghazali alam haruslah hadith (bermula). Jika alam qadim berarti ada banyak yang qadim, hal ini mengindikasikan kesyirikan atau justru tidak perlu adanya Tuhan sang pencipta.

Tuhan tidak Mengatahui Juz’iyyah
Para filusuf berpendapat bahwa tuhan tidak mengatahui hal-hal kecil kecuali yang dengan cara kulliy. Dengan alasan yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu tergantung kepada yang diketahui atau dengan kata lain perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu, atau sebaliknya berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi.[29]

Misalnya pada peristiwa gerhana matahari, sedangkan sebelumnya tidak gerhana dan gerhana akan hilang. Sebelumnya kita mengetahui gerhana itu tidak ada dan ketika terjadi gerhana pengetahuan kita berubah jadi mengetahui adanya gerhana, lalu ketika gerhana berlalu, pengetahuan kita berubah jadi mengetahui tidak ada gerhana lagi. Dari contoh ini bisa menunjukkan pengetahuan yang satu bisa menggantikan pengetahuan yang lain.

Tuhan mengetahui gerhana dengan segala ifat-sifatNya, pengetahuan yang azali, abadi dan tidak berubah-ubah seperti hukum alam yang menguasai terjadinya gerhana. Jadi ilmu Tuhan mengetahui sejak azali karena sebab-sebab yang ditimbulkan oleh sebab-sebab lain yang sifatnya juz’iy.
Menurut Al-Ghazali, ilmu adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari zat. Kalau terjadi perubahan pada tambahan tersebut, maka zat Tuhan tetap dalam keadaan-Nya yang biasa, sebagaimana halnya kalau ada yang berdiri di sebelah kanan kita kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka sebenarnya yang berubah adalah kita bukan Dia.[30]
Argumentasi Al-Ghazali ini juga berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an yang memberi petunjuk bahwa Tuhan mengetahui yang juz’iyah seperti firmanNya dalam Surah Al-Hujurat ayat 16:

قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Yang artinya: Katakanlah, “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di Langit dan apa yang di Bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?.”

Dan dalam Surah Yunus ayat 61:
وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَلَا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرَ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Yang artinya: “Tidak luput dari pengetahuan Tuhan biarpun sebesar Zarrah di bumi ataupun di Langit, tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang besar dari itu.”


Tidak Ada Kebangkitan Jasmani
Para filusuf  berkeyakinan bahwa alam akhirat adalah alam keruhanian, bukan materi. Karena perkara keruhanian lebih tinggi nilainya daripada alam materi. Karena itu pikiran tidaklah mengharuskan adanya kebangkitan jasmani, kelezatan atau siksaan jasmani, surga atau neraka serta segala isinya.[31]

Pada intinya menurut mereka mustahil manusia dibangkitkan kembali dengan jasad yang semula, sebab jasad tersebut telah hancur dan terurai menjadi bahan makanan dan menjadi bagian dari tubuh makhluk lain seperti hewan, tumbuhan atau bahkan manusia lainnya.

Al-Ghazali berpendapat bahwa jika manusia tetap wujud sesudah mati, karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Pendirian tersebut tidak berlawanan dengan shar’, bahkan ditunjukkan seperti disebutkan dalam Al-Qur’an dalam Surah Yasin ayat 78 dan 79:
قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ (78) قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ (79)
Yang artinya: “ia berkata,“siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?, katakanlah, “ia akan dihidupkan oleh Allah yang menciptakannya pertama kali.”[32]

Pembelaan Ibnu Rusyd
Para filusuf seperti Ibnu Rusyd menolak kritik tersebut. Pembelaan tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

Tentang Qadimnya Alam
Ibnu Rusyd, dalam kedudukannya sebagai filusuf yang bertujuan mencari kebenaran, lewat penafsirannya terhadap Al-Qur’an secara rasional telah menawarkan keselarasan antara agama dan filsafat serta tentang ketidak bermulaan alam ini. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pendapat kaum teolog tentang dijadikannya alam dari tiada itu tidak berdasar pada argumen syariat yang kuat, karena tidak ada ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, lalu ia menjadikan alam: pendapat bahwa pada mulanya yang ada hanya wujud Tuhan (seperti pendapat Al-Ghazali), menurut Ibnu Rusyd hanyalah merupakan interprestasi kaum teolog semata, karena Al-Quran telah mengatakan bahwa alam ini bukan dijadikan dari tiada tapi dari sesuatu yang ada,[33] seperti yang disebutkan dalam surah al-Hud ayat 7:

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ

Yang artinya: “Dan Ialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan tahtanya pada waktu itu berada di atas air”.

Dapat diambil kesimpulan sebelum adanya wujud Langit dan Bumi telah ada wujud lain, yaitu air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan. Tegasnya sebelum langit dan bumi diciptakan Tuhan telah ada air dan tahta. Dan dari surah Al-Fushilat ayat 11 yang artinya: “kemudian ia pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap”. Dapat dipahami bahwa sebelum alam ini diciptakan telah ada benda-benda lain yaitu air dan uap. Menurut Ibnu Rusyd, benda-benda itulah yang merupakan cikal bakal terjadinya alam. Alam dalam arti umumnya adalah kekal dari sejak zaman lampau atau qadim.[34]

Ibnu Rusyd berpendapat bahwa benar ada penciptaan oleh Tuhan, tetapi penciptaan yang berlangsung terus menerus setiap saat dalam bentuk perubahan alam yang berkelanjutan. Semua bagian alam berubah dalam bentuk baru, menggantikan bentuk lama. Pencipta aktif yang terus menerus inilah yang harus disebut pencipta.[35]

Tentang Pengetahuan Tuhan
Ibnu Rusyd menyatakan bahwa Al-Ghazali telah memahami pendapat para filusuf bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam ini. Para filusuf , kata Ibnu Rusyd, tidak pernah menyatakan demikian, yang dikatakan oleh para filusuf terutama Ibnu Sina ialah bahwa cara Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat khusus ini melalui ilmuNya yang bersifat kully.[36]

Dan dengan mengetahui sebab-sebabnya saja Tuhan dapat mengetahui segala akibat yang akan timbul darinya secara tidak langsung. Dengan kata lain segala peristiwa yang terjadi di alam ini telah diketahui oleh Tuhan sejak azali, yakni sebelum hal tersebut terwujud dalam bentuknya yang konkrit. Karena ilmuNya terhadap sesuatu itu adalah menjadi sebab bagi terjadinya hal tersebut. Jadi kalau Tuhan mengetahui pula hal-hal yang kecil (juz’iyat), maka berarti pengetahuan Tuhan disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna, dan hal ini tidak wajar bagi Tuhan.[37]

Menurut Ibnu Rusyd, untuk mengetahui sesuatu Tuhan tidak membutuhkan alat indra sebagai mana manusia, jika Al-Quran menggambarkan Tuhan mendengarkan dan melihat hal itu tidak dapat diartikan secara fisik, dan hal itu dimaksudkan untuk menginginkan manusia agar mengetahui bahwa Tuhan tidaklah dapat dihalang-halangi oleh jenis pengetahuan macam apapun. Karena Dia melihat dan mendengar segala secara dengan caranya sendiri. Jadi Tuhan tidak mengetahui segala sesuatu secara juz’iy sebagaimana halnya manusia.[38]

Tentang Kebangkitan Jasmani
Dalam memnantah gugatan Al-Ghazali tentang perkara ini, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa para filusuf tidak mengingkari adanya kebangkitan, hanya saja ada yang berpendapat bahwa kebangkitan tersebut secara ruhaniah bukan materi. Meskipun demikian Ibnu Rusyd tidak mau menafikan kemungkina adanya kebangkitan jasmani bersama rohani. Tetapi kalaupun ada kebangkiatan jasmani, namun bukanlah jasad yang ada didunia, sebab jasad tersebut telah hancur dan lenyap disebabkan kematian, sedangkan yang telah hancur mustahil dapat kembali seperti semula.[39]

Di dalam Surga terdapat sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata dan tidak pernah terdengar oleh Telinga, mengindikasikan bahwa di dalam Surga nanti manusia tidak berbentuk wujud jasad. Oleh karena itu ayat Al-Quran mengenai hal ini harus difahami secara metaforis.[40]

Lebih lanjut Ibnu Rusyd menganalogikan antar tidur dan kematian. Menurutnya, bahwa perbandingan antara tidur dan kematian itu merupakan bukti yang terang untuk menyatakan bahwa jiwa itu hidup terus, karena aktivitas jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa itu tidaklah berhenti. Oleh karena itu sudah semestinya keadaan jiwa pada saat kematian itu sama dengan pada saat tidur.[41]

Daftar Pustaka

Al-‘Iraqi, ‘Athif, Al-Falsafah Al-‘Arabiyah wa Atthariq ila Al-Mustaqbal Ru’yah ‘Aqliyyah Naqdiyyah, Cet. VI, (Al-Qahirah: Dar Arrasyad, 2009)
Al-Fakhuri, Hana dan Al-Jarr, Kholil, Tarikh Al-Falsafah Al-‘Arabiyyah, Cet. III, (Bairut: Dar Al-Jail, 1993)
Al-Ghazali, Al-Munqidh min Al-Dalal, (Kairo: Al-Matba’ah Al-Islamiyah, 1977)
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Cet. VI, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1972)
An-Nasyr, Mushthafa, Nazariyyatul ‘Ilm Al-Aristiyyah, Cet. II, (Al-Qohirah: Dar Al-Ma’rifah, 1995)
Arrazi, Fakhruddin, Al-Munazarat, Cet. I, (Bairut: Muassasah Izzuddin, 1912)
Asy’ari, Abu Hasan, Ibnu Rushd, (Jakarta : Dian Rakyat, 2008)
Corbin, Hendry, Tarikh Al-Falsafah Al-Islamiyyah, Cet. II, (Bairut: ‘Uwaidat li An-Nasyr wa At-Thob’i, 1998)
Dunya, Sulaiman, As-Shaikh Muhammad Abduh, baina Al-Falasifah wa Al-Kalamiyyin, Cet. I, (Bairut: Dar Al-Ihya’, 1958)
Dunya, Sulaiman, Yusuf Musa, bain Ad-Din wa Al-Falsafah, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1971)
Ibnu Rusyd, Abul Walid Muhammad, Tahafut At-Tahafut, Cet. I, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1964)
Iqbal, Muhammad, Ibnu Rusyd dan Averroisme, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004)
Marhaban, Muhammad Abdurrahman, Al-Mausu’ah Al-Falsafiyyah As-Shamilah min Al-Falsafah Al-Yunaniyyah ila Al-Falsafah Al-Islamiyyah, (Bairut: ‘Uwaidat Linnasyri wat Thob’i, 2007)
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1979), Jil. II
Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991)
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004)




[1] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 94-95.
[2] Fakhruddin Arrazi, Al-Munazharat, Cet. I, (Bairut: Muassasah Izzuddin, 1912), 86
[3] Muhammad Abdurrahman Marhaban, Al-Mausu’ah Al-Falsafiyah As-Syamilah min Al-Falsafah Al-Yunaniyah ila Al-Falsafah Al-Islamiyah, (Bairut: ‘Uwaidat Linnasyri wat Thob’i, 2007), 733
[4] Ibid, 96-97
[5] Muhammad Abdurrahman Marhaban, Al-Mausu’ah Al-Falsafiyah…, 743
[6] Ibid, 744
[7] Fakhruddin Arrazi, Al-Munazaharat, 86
[8] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), 199.
[9] Abu Hasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, (Jakarta : Dian Rakyat, 2008), 12-13.
[10] Hendry Corbin, Tarikh Al-Falsafah Al-Islamiyah, Cet. II, (Bairut: ‘Uwaidat li An-Nasyr wa At-Thob’i, 1998), 368
[11] Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), 21-22.
[12] ‘Athif Al-‘Iraqi, Al-Falsafah Al-‘Arabiyah wa Atthariq ila Al-Mustaqbal Ru’yah ‘Aqliyah Naqdiyah, Cet. VI, (Al-Qahirah: Dar Arrasyad, 2009), 309
[13] Mushthafa An-Nasyr, Nazhariyatul ‘Ilm Al-Aristhiyah, Cet. II, (Al-Qohirah: Dar Al-Ma’rifah, 1995), 86
[14] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, 204
[15] Muhammad Abdurrahman Marhaban, Al-Mausu’ah Al-Falsafiyah…, 754
[16] Ibid
[17] Ibid, 755-756
[18] Sulaiman Dunya, As-Syaikh Muhammad Abduh, Baina Al-Falasifah wa Al-Kalamiyyin, Cet. I, (Bairut: Dar Al-Ihya’, 1958), 83
[19] Drs. Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, 205
[20] Ibid
[21] Hana Al-Fakhuri dan Kholil Al-Jarr, Tarikh Al-Falsafah Al-‘Arabiyah, Cet. III, (Bairut: Dar Al-Jail, 1993), 430
[22] Ibid
[23] Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, (Kairo: Al-Matba’ah Al-Islamiyah, 1977), 26
[24] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1979), Jil. II, 65
[25] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Cet. VI, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1972), 88
[26] Ibid, 96
[27] Ibid, 110
[28] Ibid
[29] Sulaiman Dunya, As-Syaikh Muhammad Abduh.., 41
[30] Hana Al-Fakhuri dan Kholil Al-Jarr, Tarikh Al-Falsafah Al-‘Arabiyah…, 262
[31] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah…, 213
[32] Hana Al-Fakhuri dan Kholil Al-Jarr, Tarikh Al-Falsafah Al-‘Arabiyah.
[33] Abul Walid Muhammad Ibnu Rusyd, Tahafut At-Tahafut, Cet. I, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1964), 250
[34] Ibid, 280
[35] Ibid, 288
[36] Ibid, 160
[37] Sulaiman Dunya, As-Syaikh Muhammad Abduh. Op. Cit.
[38] Abul Walid Muhammad Ibnu Rusyd, Tahafut At-Tahafut…, 643
[39] Sulaiman Dunya, Yusuf Musa, bain Ad-Din wa Al-Falsafah, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1971), 223
[40] Abul Walid Muhammad Ibnu Rusyd, Tahafut At-Tahafut…, 864

[41] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here