Seri Psikospiritual
Bagaimanakah sejatinya sifat manusia itu? Sigmund Freud
(1856-1939 M) berpendapat bahwa watak dasar manusia (human disposition/human
nature) adalah jahat, ia menggambarkannya dengan istilah homo homini lupus
(manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Di sisi lain, B.F. Skinner
(1904-1990 M), seorang behaviorist Amerika, berpandangan bahwa manusia tidak
mempunyai watak dasar (man has no nature). Sementara Carl Rogers (1902-1987 M)
dengan pendekatan humanistiknya menganggap manusia baik secara dasarnya (man is
good by nature).
Sementara terkait faktor yang selanjutnya berperan membentuk
karakter manusia, para ahli menyebutkan berbagai macam determininan, saya akan
menyebutkan dua saja. Pertama adalah environmental determinism (determinisme
lingkungan) yang memandang sumbernya berasal dari outside (luar individu),
misalnya anak dengan orangtua yang kasar akan berubah menjadi orangtua yang
kasar pula melalui observasi dan imitasi[1] Kedua, biological determinisme
(determinisme biologis), yang berpandangan bahwa sumber determinisme berasal
dari dalam, berbentuk motivasi tidak sadar, bersifat genetik dan biologis.[2]
Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1058-1111 M), ulama
ensiklopedis itu, memiliki pandangannya sendiri. Sebuah pandangan yang digali
dari ajaran Islam lalu disajikannya dengan gamblang. Menurut beliau manusia by
nature adalah spiritual goodness (suci, fitrah). Konsep sentralnya, manusia
memiliki dua watak dasar (dual nature), baik dan buruk. Yang menentukan manusia
baik atau tidak adalah keadaan spiritualnya. Bukan bergantung pada aspek
biological determinism seperti pendapat Freud, environmental (lingkungan,
eksternal) seperti pandangan Skinner; dan diri sendiri (internal, self) seperti
anggapan Rogers.[3]
Berbeda dengan semua pendapat di atas, Al-Ghazali
mememandang disposisi manusia (human nature) sebagai sesuatu yang suci, kosong
dan murni, dalam bahasa Arab disebut fitrah. Seperti tokoh imajinatifnya Ibnu
Thufail (1105-1185 M), Hayy bin Yaqdzan, yang hidup tanpa manusia lainnya, ia
berkembang menjadi manusia dengan mempelajari gerak alam di sekitarnya. Tentu
saja, al-Ghazali tidak menafikan peran lingkungan terhadap perkembangan
kejiwaan seseorang.
Perbedaannya, ia tidak memanggapnya sebagai deterministik
mutlak.Contohnya anak kecil, menurut al-Ghazali, hati anak kecil itu bersih
(al-thahir) dan kosong dari segala inskripsi dan gambaran (khaliyah ‘an kulli
naqsy wa shurah). Kekosongan itu dapat diisi dengan berbagai inskripsi yang
diberikan dan dapat diarahkan menuju kecenderungan tertentu.[4]
Meski demikian, al-Ghazali menambahkan, bahwa
anak-anak,secara alami, memiliki kecenderungan egosentris. Landasan logisnya
adalah, keinginan anak jarang sekali menyertakan konsekuensi potensial bagi
orang lain (ingin menang sendiri). Ia juga meyakini bahwa ketakutan adalah
kondisi terpelajar, keadaan yang didapat karena mengalami, bukan watak bawaan
manusia.
Konsekuensi logis dari pandangan yang menyatakan bahwa
disposisi manusia itu fitrah sesuai dengan hadits Nabi Saw menjadikan
pendidikan usia dini memegang peranan penting.Tujuannya untuk mencegah
kefitrahan itu dimasuki hal-hal negatif. Atas dasar inilah Islam menghendaki
umatnya membangun masyarakat beradab dan berbudaya melalui pendidikan intensif
yang menggarap dua wilayah sekaligus, spiritual dan fisik (jiwa dan raga).
Al-Ghazali menekankan pentingnya orangtua untuk mendidik
anak mereka, bukan mendiktenya, terutama dalam pendidikan moral. Al-Ghazali
menyarankan para orangtua harus berusaha sehalus mungkin menerapkan hukuman
psikologis dan menjauhi hukuman fisik. Alasannya, agar menimbulkan perasaan
sesal dan bersalah daripada ketakutan dan kemarahan.
Al-Ghazali membagi penyakit manusia ke dalam dua kategori,
penyakit fisik dan penyakit spiritual. Dalam pandangannya, penyakit spiritual
jauh lebih berbahaya dibandingkan penyakit fisik, karena menghasilkan kebodohan
dan deviasi dari Tuhan, semacam penyakit kecanduan dihormati, hasrat kaya yang
berlebih, hasud, iri hati, takabbur, sombong, munafik, ujub, dengki dan
seterusnya.
Metode terapi penyembuhan yang digunakan al-Ghazali, untuk
penyakit spiritual tersebut, adalah metode ‘berlawanan’ (opposite), misalnya
menyembuhkan kebodohan dengan belajar; menyembuhkan benci dengan cinta;
menyembuhkan takabbur dengan rendah hati. Metode penyembuhan tersebut bersifat
aplikatif, dengan kontemplasi ketat terhadap diri sendiri sebagaimana yang
dilakukan al-Ghazali ketika menghilang bertahun-tahun untuk menemukan terapi
paling tepat mengatasi penyakit hatinya.
Dalam studi kejiwaan, al-Ghazali memperkenalkan pendekatan
exercise of soul (pelatihan jiwa), disiplin moral, dan penyembuhan perilaku
buruk. Teorinya ini bisa dikatakan tidak meniru filosof sebelumnya. Ia
memperkenalkan cara efektif baru untuk memodifikasi perilaku manusia dan
memperbaiki kecacatannya. Ia merancang pendekatan ini karena mengendalikan jiwa
bukan perkara mudah. Beliau sendiri
sering mengeluh, “Aku tidak pernah berurusan dengan sesuatu yang lebih sulit
dari jiwaku sendiri, terkadang ia membantuku dan di lain waktu ia menentangku.”
Al-Ghazali juga orang pertama yang membedakan eksternal
sense (panca indera luar) dan internal sense (panca indera dalam). Panca indera
luar adalah hidung, mata, telinga, lidah dan kulit. Sedangkan panca indera
dalam adalah hiss musytharik (akal sehat, common sense), takhayyul (imajinasi),
tafakkur(refleksi), tadzakkur (ingatan), dan hâfidz (memori). Inner sense,
menurutnya, berfungsi untuk membantu seseorang mempelajari pengalaman masa lalu
dan memproyeksikannya di situasi yang akan datang.
Dalam ruang terbatas ini, tidak cukup menguraikan teori
psikologi al-Ghazali secara komprehensif dan terperinci. Apalagi
pandangan-pandangan beliau tentang jiwa masih tersebar di berbagai
buku-bukunya,tidak seperti psikolog modern yang menyusun buku khusus tentang
teori psikologinya.
Diperlukan ekstraksi kritis dan teliti dari karya-karyanya
untuk mendapatkan hasil maksimal. Memang, telah ada beberapa buku yang ditulis
dengan sangat baik tentang tema ini. Misalnya buku Al-Ghazali’s Unspeakable
Doctrine of The Soul: Unveiling The Esoteric Psychology and Eschatology of The
Ihyatulisan Dr. Timothy J. Gianotti.
Karena itu, kita perlu melakukan kajian komprehensif
terhadap karya-karya al-Ghazali, dari berbagai pendekatan dan sudut pandang. Di
dalamnya masih banyak mutiara terpendam. Kita juga perlu melakukan tarik
mundur, artinya membaca metodelogi yang digunakan al-Ghazali dan mengalisa
proses kreatifnya untuk menambah kekayaan tradisi kita.
Dilingkaran akademisi Barat, al-Ghazali telah dianggap
sebagai psikolog. Dalam The Oxford Handbook of the History of Psychology, nama
al-Ghazali disebut sebagai psikolog yang memberi pengaruh terhadap perkembangan
psikologi. Salah satu teorinya yang disebut di buku tersebut adalah, bahwa jiwa
memiliki motivasi gerak dan sensor untuk memenuhi kebutuhan tubuh kasarnya.[5]
Tulisan ini masih jauh dari lengkap. Istilah ‘tidak lengkap’
pun belum cukup mewakili ketidak-lengkapannya. Sebagai tambahan, untuk sedikit
menutupi ketidak-lengkapan pembahsan ini, Leleh Bakhtiar[6] mengatakan
“(Psikologi al-Ghazali) adalah sebuah filsafat holistik kehidupan yang
mengkombinasikan unsur realitas spiritual/mistis dengan observasi saintifik.”
______________________________
[1] Alfred Bandura, dkk,Transmission Of Aggression
Through The Imitation Of Aggressive Modelsdalam Journal Of Abnormal And Social
Psychology, vol 63, 1961.
[2] M.J. Chorney, dkk,. A Quantitative Trait Locus
Associated with Cognitive Ability in Childrendalam Psychological Science, vol
9,1998.
[3] Lihat Abbas Hussein Ali, The Nature of Human
Disposition, dalam jurnal Intellectual Discourse, 1995, vol III.
[4] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, juz 3, hlm
78.
[5] David B. Baker. The Oxford Handbook of the History of
Psychology. 2012. hlm 444 dan 448.
[6] Penulis buku Al-Ghazzali: His Psychology of the
Greater Struggle
Tidak ada komentar:
Posting Komentar